Mohon tunggu...
Anggra Yudha Ramadianto
Anggra Yudha Ramadianto Mohon Tunggu... Dosen | Peneliti | Praktisi Kesehatan

Dosen dan Peneliti di bidang Hukum Kesehatan. Praktisi Kesehatan. Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Batuk Sebagai Simbol Egoisme Sosial Di Indonesia

18 Juli 2025   17:32 Diperbarui: 27 Agustus 2025   17:16 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Orang Sedang Batuk (Sumber: Image Generate Gemini)

Coba bayangkan, kita sedang berada di transportasi umum. Penumpang padat. Ada yang terpaku dengan gawainya. Ada sibuk mengobrol dengan rekannya. Bahkan, ada yang tengah melamun karena sibuk dengan pikirannya masing-masing. Namun, tiba-tiba...uhuk...uhukk...uhukk. Seseorang batuk dengan kerasnya, berulang kali, tanpa terpikir untuk menutup mulutnya, dan jelas tanpa rasa malu.

Sebagian orang mungkin akan menganggapnya itu hal biasa. Namun, sebagiannya lagi mulai memicingkan matanya, karena mulai merasa terganggu, tapi tidak sepatah kata pun terucap. Pada sisi yang lain, orang itu batuk-batuk terus tanpa henti dengan bebas tanpa berpikir untuk menutupi mulutnya. Ia mungkin berpikir droplet dari batuknya itu tidak akan menjadi masalah buat orang lain. Fenomena seperti inilah yang kerap kali terjadi di Indonesia.

Kita sudah melalui masa panjang pandemi global yang tidak hanya menguras energi, emosi, dan ekonomi, tapi juga merenggut jutaan jiwa. Namun ternyata, masih banyak orang yang belum bisa mengambil pelajaran dari masa pelik itu. Masih ada orang yang dengan ketidakpekaan sosialnya merasa bebas untuk batuk dengan seenaknya tanpa berpikir untuk menutup mulutnya. Bahkan, ketika batuk pun tidak kunjung mereda, mereka juga tidak berpikir untuk memakai masker atau membatasi aktivitas sosialnya. Saking culasnya, tidak jarang juga orang batuk dengan seenaknya tepat di hadapan orang lain. Mungkin bagi mereka virus atau kuman lainnya terlalu kecil untuk dilihat, jadi eksistensinya dianggap tidak ada.

Tertukarnya Etika Dengan Kesopanan

Etika dan kesopanan merupakan instrumen norma sosial yang mengatur bagaimana seharusnya manusia berperilaku, khususnya dalam kehidupan sosial. Meskipun sama, dua hal ini memiliki karakteristik dan ruang lingkup keberlakuan yang berbeda. Namun, tetap saja hingga saat ini masih banyak orang Indonesia yang keliru dan mencampuradukkan antara etika dan kesopanan. Imbasnya, seringkali mengalami kesulitan untuk membedakan manakah perilaku yang masuk ke dalam ranah etika atau kesopanan.

Etika berkorelasi dengan apa yang baik dan buruk. Ada sebuah kecenderungan bahwa etika bersifat universal. Semisal, suatu perbuatan yang menurut parameter etika dinilai baik di suatu wilayah cenderung akan memiliki nilai yang sama juga di wilayah yang lain. Ambil contoh seperti kewajiban moral untuk tidak boleh menghilangkan nyawa orang lain. Ruang lingkup etika tidak hanya sebatas pada perbuatan nyata dilakukan, tetapi juga mencakup apa yang dipikirkan dan apa yang terbenak dalam hati saat melakukan perbuatan. Artinya, terlepas orang lain menyaksikan ataupun tidak, terlepas dimana pun kita sedang berada, suatu perbuatan akan tetap kita lakukan ketika disadari bahwa hal itu memiliki implikasi kebaikan secara moral.

Sementara itu, kesopanan lebih berkaitan dengan persoalan apa yang pantas dan tidak pantas. Ia tidak bersifat universal, karena keberlakuannya sangat bergantung dengan lingkungan sosial dan budaya seperti apa seseorang tengah berada. Pada konteks ini, suatu perbuatan bisa saja dianggap tidak sopan di dalam sebuah lingkungan sosial, tapi malah dianggap biasa saja di lingkungan sosial lainnya. Selain itu, kesopanan hanya mempersoalkan pada perbuatan yang secara nyata dilakukan terhadap orang lain. Apa yang dipikirkan dan apa yang hati rasakan saat suatu perbuatan dilakukan, kesopanan tidak pernah mempermasalahkannya.

Seringkali masyarakat Indonesia menganggap bahwa menutup mulut atau memakai masker saat batuk itu tidak lebih dari soal kesopanan. Jelas, itu adalah sebuah kesalahan besar. Menutup mulut atau memakai masker saat batuk adalah murni persoalan etika.

Ketika hanya dianggap kesopanan semata, seseorang yang mungkin sudah terbiasa dengan perilaku batuk dengan seenaknya saat berada di tempat tinggalnya akan melakukan perilaku yang sama ketika ia berada di tempat umum. Ia akan berpikir bahwa, 

"Oh, aku pun di rumah juga tidak pernah tutup mulut saat batuk, apalagi memakai masker, jadi mengapa aku harus melakukan hal itu ketika di tempat umum?"

Cara berpikir semacam inilah yang kemudian akan mendorong timbulnya perilaku egois seperti yang diilustrasikan di bagian awal tulisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun