Sumber Foto (Dok. Pribadi)
Jajaran anak tangga yang telah dilewati lelaki itu seakan tidak pernah bisa dilupakan. Hingga pada satu titik ia menemukan sebuah lorong buntu dan memisahkannya dari ruangan lain. Bagai menyelami dua kolam, pilihan hanya ada ditangannya.Â
Lelaki itu tertegun akan batas yang dihadapi dalam sebuah lorong gelap dan bercahaya. Pijar setitik tak ada, yang ia rasakan hanya hening memecah frekuensi suara. Gemerlap kehidupan luar tak mampu ia rasakan, sepi, gelisah dan keringat yang mengucur dari kepala membasahi sekujur tubuh.Â
Tersiksa, ia tersiksa, bukan karena dihantam pukulan keras dari orang lain, namun dihantam realita yang begitu kejam. Di dalam lorong menghadap batas, matanya seolah menggunakan kacamata kuda, sorotnya hanya tertuju pada satu titik.Â
Pikirannya mulai menyelam, berkeliaran kemana-mana. Setiap apa yang ia lakukan dahulu kembali datang, mengucapkan kembali kata selamat datang. Lelaki itu tak menangis, hanya ada tatapan kosong. Kembali ke ruang waktu membuatnya sedikit menyesal.Â
Bodoh, bodoh, bodoh..Â
Hatinya bergejolak, meminta untuk keluar, tapi janji dalam diri membuatnya tak bisa keluar begitu saja. Alibi diri membuatnya semakin kacau, menciptakan berbagai alasan dari sebuah kejadian. Itulah dulu yang sering ia lakukan.Â
Kekasih hatinya telah punah, abunya tak tersisa untuknya. Orang lain memungut satu persatu abunya, menyimpannya dengan rapih. Dijaganya sepenuh hati, tak seperti lelaki itu. Bibit yang telah ia tanam, namun bersemai dalam dekapan orang lain.Â
Susah payah mendapatkan, berjuang orang lain yang menikmati hasil. Lelaki itu bak tertampar ribuan kali di pipi kanan dan kirinya yang tak sebegitu chubby. Sayatan kecil di hatinya terus muncul seakan merobek keseluruhan. Perjuangannya dahulu tak tercatat dalam sejarah, terhapus orang baru yang tak tau apa-apa.Â
Mencintai kekasih hatinya dulu baginya kini hanya sebuah angan, mengingat namun tak dapat kembali. Kekasihnya kini bahagia merajut asa bersama orang lain, sementara lelaki itu masih berdiri di lorong dengan batasan yang tak mampu ia tembus.Â
Panasnya sinar matahari tak lagi dirasakan, puisi-puisi indah Chairil Anwar hanya dapat ia rasa namun tak dapat digapai. Sajak romantis yang dulu sering ia tulis untuk berkabar, kini hanya jadi pajangan dan menjadi arsip. Tersimpan rapi meninggalkan kenangan.Â