Meski banyak yang mengadopsi gaya hidup soft life, tak sedikit pula yang menolak mentah-mentah. Sebagian pihak menyebut soft life sebagai bentuk kemalasan modern, pelarian dari tantangan hidup, atau cerminan generasi yang 'lembek'.
Namun faktanya, memilih hidup dengan lebih pelan bukan berarti menyerah. Justru, itu bisa jadi keputusan paling berani: melawan arus, menetapkan batas, dan menolak dijadikan mesin oleh sistem yang tak pernah puas.
Perlu diingat juga, soft life tidak cocok untuk semua orang. Bagi sebagian, hustle adalah cara mereka bertahan. Dan itu juga sah-sah saja. Yang penting: setiap orang berhak memilih ritme hidupnya sendiri.
Memilih soft life bukan berarti kita kehilangan arah, malas, atau menolak tantangan. Justru, ini adalah bentuk kesadaran bahwa hidup bukan lomba. Tidak semua orang harus jadi CEO di usia 30. Tidak semua orang harus punya rumah sebelum menikah. Tidak semua orang ingin jadi "sukses" dengan definisi lama.
Soft life mengajarkan bahwa menjadi damai, cukup, dan bahagia adalah pencapaian juga. Mungkin soft life terdengar seperti kemewahan yang tidak semua orang bisa nikmati. Tapi bukan itu intinya. Intinya adalah pilihan. Pilihan untuk tidak terus dikejar. Pilihan untuk berkata "cukup". Pilihan untuk mendengarkan diri sendiri.
Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang paling benar-benar hadir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI