Di era modern yang dipenuhi perubahan cepat dan tantangan global, pendidikan menjadi fondasi utama pembentukan generasi masa depan Indonesia. Namun, kenyataannya banyak lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang mengalami kesulitan besar saat memasuki dunia kerja atau menjalani kehidupan nyata. Mereka terjebak dalam sistem pendidikan yang kerap kali lebih mementingkan formalitas dan angka ketimbang pengembangan keterampilan hidup yang esensial. Maka muncul pertanyaan kritis: apakah pendidikan di Indonesia hanya sebatas memenuhi kewajiban administratif tanpa benar-benar menyiapkan generasi muda untuk masa depan?
Selama beberapa dekade terakhir, kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami berbagai perubahan, mulai dari Kurikulum 2006, Kurikulum 2013, hingga yang terbaru, Kurikulum Merdeka. Namun, meskipun terjadi pergantian nama dan sistem, fokus utama pendidikan masih tetap terjebak dalam pola lama: mengutamakan teori dan hafalan. Siswa didominasi oleh berbagai mata pelajaran dan materi yang terkadang jauh dari kebutuhan praktis mereka.
Kurangnya pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan keterampilan kritis, kreativitas, serta kemampuan memecahkan masalah menjadi masalah utama. Pendidikan yang ideal bukan hanya soal menghafal fakta dan teori, tetapi juga mampu menyiapkan siswa untuk beradaptasi, berinovasi, dan menghadapi dinamika dunia nyata. Sayangnya, di banyak sekolah, kegiatan belajar mengajar masih sangat kaku, terikat oleh buku teks dan jadwal yang padat.
Selain itu, perbedaan kualitas pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan semakin memperburuk situasi. Sekolah di daerah terpencil sering kali kekurangan tenaga pengajar berkualitas dan fasilitas yang memadai, sehingga proses pembelajaran menjadi kurang optimal. Hal ini berdampak langsung pada kemampuan siswa menghadapi tantangan masa depan.
Salah satu keluhan terbesar dari dunia industri adalah ketidaksiapan para lulusan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan. Perusahaan-perusahaan sering kali mengeluhkan bahwa lulusan baru minim pengalaman praktis, kurang memiliki soft skills seperti komunikasi, kerja sama tim, dan kemampuan beradaptasi. Sementara itu, pihak sekolah merasa sudah memberikan ilmu yang cukup.
Fenomena ini menunjukkan jurang besar antara apa yang diajarkan di sekolah dan kebutuhan di lapangan. Dunia kerja membutuhkan lulusan yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga mampu mengelola waktu, berkomunikasi secara efektif, berinovasi, dan bertanggung jawab. Namun, sekolah masih cenderung fokus pada penguasaan materi dan persiapan ujian, bukan pembentukan karakter dan keterampilan hidup.
Program magang yang sudah diperkenalkan dalam beberapa kurikulum, seperti Kurikulum Merdeka, sering kali belum berjalan optimal. Magang masih dianggap sebagai kewajiban administratif, bukan kesempatan belajar nyata. Oleh sebab itu, sinergi antara sekolah dan dunia industri perlu diperkuat agar lulusan benar-benar mendapat pengalaman langsung yang berguna.
Penilaian di sekolah masih sangat bergantung pada angka dan ranking. Ujian nasional dan nilai rapor menjadi tolok ukur utama keberhasilan siswa. Sayangnya, sistem ini tidak mampu mengukur kompetensi secara menyeluruh, apalagi aspek non-akademik seperti kreativitas, kepemimpinan, dan kemampuan sosial.
Akibatnya, siswa yang memiliki bakat di bidang seni, olahraga, atau keterampilan teknis sering kali kurang dihargai, bahkan dianggap kurang pintar. Tekanan pada nilai akademik juga menyebabkan stres dan rasa takut gagal yang berlebihan pada banyak siswa.
Paradigma pendidikan harus bergeser dari sekadar menilai hasil ujian menjadi menilai proses dan perkembangan kemampuan setiap individu. Pendidikan yang ideal adalah yang mampu mengakomodasi keberagaman potensi dan memfasilitasi pengembangan semua aspek kecerdasan.
Kurikulum Merdeka merupakan sebuah langkah maju yang mencoba menjawab berbagai kritik terhadap sistem pendidikan lama. Dengan memberikan kebebasan lebih kepada guru dan sekolah dalam memilih metode pembelajaran dan materi, serta menekankan pembelajaran berbasis proyek, kurikulum ini berpotensi untuk lebih adaptif terhadap kebutuhan siswa.
Selain itu, profil pelajar Pancasila yang diusung dalam kurikulum ini menitikberatkan pada pembentukan karakter, kreativitas, dan keterampilan abad ke-21. Namun, implementasi di lapangan menghadapi berbagai tantangan, seperti kesiapan guru yang masih beragam, fasilitas sekolah yang belum merata, dan tingkat partisipasi orang tua yang masih rendah.
Agar Kurikulum Merdeka benar-benar efektif, diperlukan pelatihan berkelanjutan bagi guru, peningkatan sarana prasarana, dan dukungan kebijakan yang konsisten dari pemerintah. Pendidikan tidak bisa hanya bergantung pada aturan formal, tetapi harus menjadi sebuah gerakan kolaboratif antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Selain pemerintah dan sekolah, orang tua dan masyarakat juga memegang peranan vital dalam mendukung pendidikan yang bermakna. Keterlibatan aktif orang tua dalam proses belajar anak, seperti memberikan motivasi, mengawasi tugas sekolah, dan mendukung minat anak, dapat meningkatkan hasil belajar secara signifikan.
Masyarakat pun harus lebih terbuka terhadap pengakuan berbagai jenis kecerdasan dan bakat. Tidak semua anak harus mengikuti jalur akademik tradisional. Pendidikan vokasi, pelatihan keterampilan, serta apresiasi terhadap seni dan olahraga harus mendapat perhatian setara untuk menciptakan generasi yang seimbang dan berdaya saing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI