"Kamu ambil dimana?" tanya suaminya dengan nada agak tinggi.
Fadly menangis karena ketakutan.
"Ayo nak, tunjukan pada Papa dimana kau mengambil uang itu."
Dengan masih menangis, Fadly pun berjalan masuk kamarnya. Lalu dia menujuk lemari kayu jati tua yang berdiri di sudut ruangan yang dibeli Fatia dengan cara garage sale sebulan yang lalu. Perempuan itu tambah bingung. Sementara anaknya nangisnya makin menjadi-jadi.
Untuk kedua kali mereka gagal memperoleh informasi mengenai uang misterius itu. Kenapa Fadly tak menunjuk dompetnya atau dompet papanya. Hanya tempat itulah yang ada uangnya. Apalagi dia tak pernah kemana-mana, jadi tak mungkin mencuri di dompet orang lain.
Pagi itu langit mendung. Gerimis turun perlahan di pagi yang remang. Fatia sudah siap untuk jogging, namun karena hujan, dia pun tak jadi keluar. Kalau hujan tidak mungkin jogging karena hanya akan membuat kepalanya pusing. Mungkin membersihkan rumah adalah ide yang tepat, agar tetap keluar keringat
Dia pun mengambil sapu dan mulai menyapu mulai dari ruang tamu, dapur, dan kemudian kamar-kamar. Ketika masuk kamar Fadly, terpikir olehnya apa yang dikatakan anak itu. Prinsipnya, dalam artikel lain psikolog yang pernah dibacanya, anak itu selalu berkata jujur.
Perlahan dibukanya lemari ukir itu. Baju-baju Fadly tertata rapi, dengan tatanan yang diatur sesuai keguanaannya. Pada rak paling atas, ditaruh baju-baju untuk pergi, di bawahnya baju untuk di rumah. Rak ketiga dari atas, tempat menaruh pakaian dalam dan pakaian renang serta handuk. Bawah sendiri, untuk menyimpan buku-buku balita Fadly yang sayang kalau harus dibuang.
Rak paling bawah ini hanya Sebagian saja yang terpakai. Ada kertas-kertas hasil menggambar Fadly pada sisi yang kosong. Di sudut paling ujung, Fatia melihat kertas warna biru. Dia jarang melihat isi lemari paling bawah itu sampai sejauh itu. Diaraihnya kertas itu, astaga dual embar uang lima puluh ribuan.
Segera saja Fatia memanggil suaminya dan menunjukkan temuan itu.
"Papa naruh uang disitu?"