Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Warung Bu Tubi

20 Oktober 2020   18:36 Diperbarui: 31 Oktober 2020   04:39 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Desa Tamang, kalau ditempuh dari kota propinsi, sekitar dua jam. Ya, tentu saja jalanan lancer, dan cenderung lengang. Asal sudah keluar dari perkotaan, tidak ada sekalipun hambatan jalan seperti macet. Meskipun tidak lebar, dan hanya muat dua mobil saja, tetapi jalanan mulus. Hamparan sawah membentang di kanan kirinya.

Desa yang damai, namun dibalik semua itu nuasa erotic akan tercium setelah memasuki desa. Setidaknya setelah memasuki warung Bu Tubi. Ada apa sebenarnya di warung itu? Warung berdinding papan dan Sebagian dndingnya menggunakan anyaman bambu. Dari luar seperti warung makan biasa, ada jendela memanjang di bagian depannya. Pada sisi keduanya ada pintu papan bercat hijau. Jendela itu tidak berkaca , namun terbuka dengan penyangga bambu di kedua sisinya.

Orang yang duduk di warung akan terlihat dari jalan. Meja kayu berbentu U, sepanjang meja itu didanpingi dengan kursi bambu. Bu Tubi berdiri di tengah meja itu untuk membuatkan pesanan. Warung menyediakan makanan, tetapi hanya sedikit. Nasi rames dengan lauk tahu-tempe. Tetapi kopi tubruknya konon luar biasa nikmatnya.

Namun yang membuat warung itu ramai, bukan makanan dan minuman yang disediakan, tetapi "pelayanan lain" buat pelanggan. Dan tentu saja "pelayanan lain" itu, tidak disediakan di siang hari, tetapi pada malam hari. Tak heran bila warung itu buka hamper 24 jam.

Bu Tubi memiliki lima orang pembantu. Namun di siang hari, kelimanya tidak ikut membantunya di warung. Mereka ada di rumah gubuk belakang warung itu. Mereka bekerja di malam hari, melayani pembeli yang datang malam hari, melayani birahi mereka.

Gadis-gadis itu bukan gadis setempat, tetapi gadis dari daerah lain yang memang dipekerjakan untuk melayani pelanggannya. Sudah menjadi rahasia umum, warung kecil yang di siang hari menyediakan kopi dan penganan itu, malam harinya menjadi rumah bordil.

Lalu dimanakah mereka melayani para tamu, di warung dan gubug itu tidak ada kamar. Memag tidak disediakan kamar, para tamu, pelanggan membawa pelacur-pelacur itu kemana saja untuk main. Kebanyakan main di kebon atau di sawah. Jadi tak perlu membayar sewa kamar. 

Lalu bagaimana perempuan setangah baya yang wajahnya mirip artis Meriam Bellina bisa menjadi induk semang beberapa pelacur itu?

Ceritanya Panjang.

*

Bekerja di kota, adalah dambaan setiap anak gadis yang baru remaja. Mereka ingin memiliki baju-baju bagus, make up, dan tentu saja memiliki uang untuk jajan dan melancong. Begitu pun dengan Tubinem. Setelah lulus SD, gadis itu berangkat ke kota, dan mendapatkan pekerjaan sebuah pabrik kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun