"Saat kehamilan Dewi, bagiku Jo ibaratkan sebentuk monster yang setiap saat bisa menerkamku. Setiap hari marah-marah, ngomong seenaknya, menuduhku hamil dengan laki-laki lain, mengata-ngataiku pelacur dan lain-lain."
Aku melihat lagi air mata.
"Mungkin karena faktor usia yang yang sudah hampir tiga puluh lima tahun aku sakit-sakitan. Kalau orang hamil, harusnya bebas meminta apa saja kepada suami, ngidam dan sebagainya. Tetapi sebaliknya, aku sengsara mengurus kehamilanku sendiri, karena Jo tak mengkui janinku. Anak yang ada dalam kandunganku itu dibilang bukan anak dari benihnya."
Perempuan itu terisak lagi. Aku memberinya tisu lagi dan membiarkannya menangis.
"Tuduhan itu terlalu menyakitkan, dan membuat aku merasakan hampa. Luka yang dibuatnya sendiri membuatku merasa seperti melayang sendiri, kosong dan tidak berarti, luka di hatiku, kepedihan itu, saat-saat menanggung kehamilan yang tak diakui itu, adalah saat terberat dalam hidupku."
"Terus?"
"Setelah usia kandunganku lima bulan, baru Jo mengakui janin itu adalah anaknya, tetapi aku telah terlanjur terluka," tangisnya.
"Linda, kamu baik-baik saja?"
Di usapnya air mata itu.
"Sekarang hatiku sudah seperti mati rasa, hatiku pedih tiada terkira, karena itulah kemudian aku dekat dengan seseorang dan aku tunjukkan bahwa kalau aku mau, segala sesuatunya bisa terjadi, dan aku bersumpah, aku dekat pada seseorang itu semata hanya ingin memanasinya, bukan karena aku jatuh cinta lagi."
"Pernahkah kau ungkapkan apa yang ada dalam hatimu?"