"Menderita? Plis deh, kamu punya pekerjaan dan karir yang bagus, kamu punya suami yang sukses dan tiga anak-anakmu cantik, ganteng dan sehat-sehat."
"Selama ini aku selalu bersembunyi di situ. Aku berusaha mensyukuri apa yang aku miliki, aku menyerahkan semuanya kepada Tuhan."
Matanya berkaca-kaca. Aku meraih tisu dan aku berikan kepadanya. Tangan-tangan mungilnya meraih tisu itu, lalu mulai mengusap air matanya dengan lembaran putih itu. Aku menunduk. Mengiris croisant dan mengalihkan pandanganku dari isakan tangisnya.
Jujur saja, Â aku merasa sedikit asing dengan Linda kali ini. Selama ini, Linda yang aku kenal adalah seorang perempuan yang periang, ramah dan pandai bergaul. Temannya sangat banyak dan mereka sangat menyayangi Linda. Keceriaannya selalu merubah situasi yang buruk menjadi sangat indah, dimana pun dia berada.
Tetapi kali ini, dia menangis terisak-isak. Berkali-kali bibirnya mengatup menahan perih. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku pernah berbincang dengan seorang psikolog, bila berhadapan orang yang sedang bersedih, biarkan saja dia menangis sepuasnya, sebab menangis adalah salah satu cara untuk melepaskan kekesalan. Karena itu aku diam saja, menunggu sampai tangisnya mereda.
"Suzan, aku merasa hidupku hampa," tuturnya.
Aku memandanginya. Masih diam. Fokus pada pembicaraannya. Matanya mengisyaratkan beban. Dan mata itu seakan menutup sebuah rahasia yang ingin disembunyikannya sendiri. Tetapi siapa yang sanggup menanggungkan beban penderitaan itu sendiri. Sebagai istri, harusnya pasangan hidup mampu menjadi pendamping dalam suka dan duka, tetapi kalau masalah justru muncul dari suami, apa harus dikata.
"Apakah aku pernah cerita kalau Jo seorang pencemburu, Zan?"
Aku mengingat sejenak, lalu menggeleng.
"Semuanya berawal dari situ."
"Apa karena kamu terlalu ramah?"