Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Miss Fransiska"

12 Januari 2018   14:11 Diperbarui: 15 Januari 2018   01:21 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

SERIAL SUZANNA FAMILI

Di dunia ini, ada dua kata yang paling aku benci: DEAD LINE!  Dua kata itu bisa memacu jantungku bekerja dua kali lebih keras. Dan dua kata itu pula yang seringkali membuatku setengah gila. Setiap wartawan pasti merasakan hal yang sama. Liputan yang dilakukan dengan bertaruh nyawa pun tiada artinya kalau sudah lewat dead line, dan liputan itu kemudian menjadi sesuatu yang tak berguna.

Dead lineku besok malam. Tetapi aku mendapatkan kabar bahwa Miss Siska sakit. Dan sakitnya tidak di Jakarta, tetapi di Bandung. Aku hanya berharap Tuhan mencintai wartawan dengan detil, termasuk hubungan kasat mata yang mendalam dengan makhluk bernama dead line.

Aku mengumpulkan kertas-kertas catatan, hasil translate dari rekaman beberapa hari ini, dan memasukkannya di komputer. Salah satu sifat buruk seorang wartawan adalah menunda pekerjaan, sampai batas dead line memacu andrenalin mereka baru mereka tergerak untuk bekerja. Dan aku juga termasuk salah satu yang terinveksi virus itu.

Karena majalah mingguan, aku relatif lebih santai. Awal minggu, setelah lepas dead line minggu sebelumnya, adalah memburu nara sumber. Ini bagian tersulit, tetapi juga bisa mundur waktunya kalau sedang tak beruntung menemukan sumbernya. Setelah itu fase kedua, fase translate hasil wawancara dan mencari sumber bacaan sebagai menguat. Bagian terakhir adalah finising. Yaitu penulisan laporan secara utuh.

Beberapa hari lalu memang aku tak terlalu kesulitan menemukan sumber. Sampai pada tahapan kedua, semuanya juga berjalan mulus. Dan pada fase ini, aku menyempatkan bersantai bersenang-senang dan membiarkan pekerjaan terbengkelai, tepatnya menunda pekerjaan sambil menunggu waktu dead line tiba.

Ketika Lavenia puteri miss Siska menelponku bahwa ibunya dirawat di sebuah rumah sakit di Bandung, aku kelabakan. Orang sakit tak bisa ditunda, persis seperti juga dengan dead line. Tetapi karena Miss Siska sudah seperti ibuku sendiri, tak heran biarpun besok dead line, aku memilih untuk menjenguknya. Dan kini aku ngebut,  semoga bisa mengejar dead line.

Aku turun dari kereta pukul sepuluh pagi. Langsung mencari taksi menuju Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Bergegas aku menyusuri koridor rumah sakit itu. Rasa was-was, rasa rindu, menyatu dalam jiwaku.

Aku memasuki bangsal kelas satu, untuk pasien penyakit dalam. Hatiku berdebaran, menyibakkan gordin-gordin putih yang melambai riang. Detak sepatuku memukul-mukul lantai keramik putih yang mengkilat itu.

Aku membuka gordin paling ujung, gordin itu tertutup dengan rapat, seakan orang yang ada di dalamnya tidak mau diganggu. Lalu aku dekatkan telingaku ke balik gordin itu. Tak ada suara, yang ada hanya dengus nafas tua yang mengeluarkan suara pelan, hanya mirip suara dengkuran. Aku yakin pasti pasien di dalam gordin itu sedang sendirian.

Aku sibakkan gordin itu pelan. Kudongakkan wajahku ke dalam ruangan kecil itu. Dan di kasur, berbaring seorang perempuan tua, tertidur dan terlihat letih. Aku masuk perlahan, dan melihat suasana sekitar. Ada meja kecil dengan makanan rumah sakit yang belum dibuka. Lalu beberapa cangkir berisi teh yang belum diminum, dan jarum infus masih menancap di salah satu punggung tangan keriput itu.

Aku duduk di bangku plastik yang ada di dekat bed tidur. Aku diam tak ingin mengusik tidur perempuan itu. Meskipun terpejam, aku melihat wajah itu tidak tidur dengan tenang. Ada kegalauan yang tersimpan di dalam jiwanya. Dan aku tahu itu.

Di TK Mentari Pagi, kami memanggilnya Miss Siska. Miss Siska adalah salah satu guru kesayangan murid-murid di TK itu. Beliau sangat energik, ramah dan lembut. Miss Siska pandai bernyanyi lagu-lagu yang indah. Setiap minggu, selalu saja ada lagu baru yang diajarkan kepada kami. Selain itu, beliau juga sangat pandai bercerita. Bercerita tentang kisah para puteri, tentang binatang-binatang yang lucu dan lain-lain.

Miss Siska juga pandai merayu. Setiap ada murid yang menangis atau ngambek, Miss Siska selalu mendekatinya dengan lembut, membujuk dan merayunya agar hatinya tidak bersedih lagi. Soal belajar membaca dan menulis, orang tua pasti menyerahkan putera-puterinya kepada Miss Siska. Dalam waktu seminggu, dijamin anak akan bisa membaca.

Tidak heran, kalau disela waktu mengajarnya, banyak sekali permintaan kepada perempuan itu untuk memberikan les privat. Dan aku adalah salah satu murid kesayangan Miss Siska. Kata Miss Siska aku adalah murid paling dirindukannya setiap hari. Aku pintar, aku lemah lembut dan juga periang.

"Suzan kecil, adalah seperti diriku waktu kecil," katanya suatu hari padaku.

Masih aku ingat bagaimana Miss Siska memelukku, sewaktu Linda, salah seorang teman yang agresif mendorongku sampai aku jatuh. Aku menagis kesakitan sekaligus ketakutan. Tenaga Linda kuat dan dorongannya sangat kasar. Itu yang membuatku selalu ketakutan bila anak itu mulai marah-marah dan agresif.

Dalam dekapan Miss Siska aku merasakan tenang. Seperti layaknya dalam dekapan Ibu. Aku merasakan ada aliran kasih sayang yang lembut dan menenangkan. Aku juga merasakan Miss Siska memberikan kasih sayang yang berlebihan kepadaku, dibandingkan dengan murid yang lain.

Tak heran, meskipun aku tidak les privat pada beliau, aku termasuk murid yang paling cepat bisa membaca. Ketika masih TK-A saja aku sudah bisa membaca, padahal usiaku baru lima tahun. Kurang. Sementara yang lainnya rata-rata teman yang lain baru bisa membaca setelah mereka TK-B. Dan aku merupakan murid kebanggaannya.

Miss Siska menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan seusiaku bernama Lavenia. Gadis ini sangat cantik, berbakat dan sangat menyukai pekerjaannya di bidang seni. Pada perkembangnnya Nia terlihat sebagai seorang puteri yang sangat mandiri, bahkan dia sangat jauh dari ibunya sendiri.

Beberapa bulan yang lalu, Miss Siska menemuiku di kantorku dengan air mata berlinangan. Perempuan itu sudah terlihat tua, dan waktu itu dia baru saja pensiun dari pekerjaannya sebagai guru TK Mentari Pagi.

Pertemuan di kantor sore itu, bukan kali pertama kami bertemu, setelah sekian lama aku bertumbuh dan menjadi seorang jurnalis majalah. Kantor ramai karena hari dead line. Aku membawanya ke ruang rapat yang lagi kosong. Dan di ruang rapat itu dia menangis sesengukan.

"Setelah kehilangan suamiku, sekarang aku kehilangan Lavenia," katanya.

"Miss, apa yang terjadi?" tanyaku.

Tangan tua yang berkerut itu mengambil tisu yang aku sodorkan. Lalu aku biarkan dia menangis sepuasnya. Dan aku menunggui dengan sabar sambil sesekali aku pegang pundaknya yang kurus itu.

"Apa yang terjadi, Miss?" tanyaku lagi.

"Lavenia akan memasukkanku ke panti jompo," ujarnya sedih.

"Oh, apakah itu sudah keputusan final?"

"Baginya, aku ini hanya seperti perempuan tua yang tak berguna yang merepotkan. Aku melakukan semua pekerjaanku dengan sepenuh hatiku menjadi guru. Mendidik murid-muridku agar menjadi manusia yang berbudi dan utama, tetapi aku tidak memiliki keluarga yang hebat, keluargaku kacau balau, bahkan saat ini aku sedang bersiap untuk mati sendirian."

Aku terus menyimak. Perempuan itu semakin terhanyut dalam kesedihannya. Aku melihatnya terlihat kesepian dan merasa tak berguna. Setelah puas menangis, aku mengantarkannya pulang dan memintanya untuk bersabar. Aku juga berkata bahwa Miss harus banyak berdoa, agar Nia membatalkan keinginannya memasukkan ibunya ke panti jompo.

Kehilangan anak memang berbeda dengan kehilangan suami. Bahkan ketika bercerai. Miss Siska terlihat lebih tegar dan percaya diri. Waktu bercerita tentang perceraiannya, Miss menganggap bahwa semua jalan yang ditempuhnya adalah pilihan hidupnya, panggilan jiwanya, dan tak mungkin dia melepaskan itu.

Aku bahkan tak menduga, bahwa Miss datang ke rumahku sore itu hanya untuk menceritakan perceraiannya.

"Dulu Ridwan memang melarangku menjadi guru, alasannya, Lavenia menjadi tak terurus," kata Miss.

"Mungkin Pak Ridwan merasa terabaikan," timpalku.

"Perempuan juga punya hak untuk memilih," jawabnya pasti.

Mendengar jawaban itu, aku enggan berkomentar lagi. Karena Miss Siska sudah mengetok palu bahwa semua keputusannya sebuah harga mati. Dia tidak menangis, dia tidak kecewa dan gentar dengan hasil keputusannya itu.

"Suzan, kalau perempuan tidak mandiri, dia nanti tidak dihargai oleh suami," katanya semakin membuat aku terkunci tanpa bisa berpendapat apapun.

Dan pada kenyataannya, kemandiriannya justru membuat perkawinanya runtuh. Aku menghargai pendapat mantan guru TK ini, tetapi aku memiliki pemikiran lain. Perempuan disisi lain boleh mandiri, tetapi tidak boleh meninggalkan dan menerlantarkan keluarganya sendiri.

Dan setelah Nia meninggalkan Miss Siska, aku semakin yakin bahwa anak tak hanya butuh kebanggaan. Tetapi juga butuh perhatian, cinta kasih, sentuhan dan terutama waktu. Biarpun dalam karir perempuan memperoleh jabatan setinggi langit, kalau menerlantarkan anak-anaknya, dia telah mengecewakan anaknya sendiri.

Rumah sakit makin sepi. Miss Siska belum juga bangun dari tidurnya. Aku keluar untuk melihat-lihat. Lalu mampir ke ruang perawat. Seorang perawat tersenyum dengan manis.

"Anaknya Bu Fransiska ya Mbak?" tanyanya.

"Bukan, saya bekas muridnya di TK," jawabku.

"Bekas muridnya?"

"Iya, kenapa memang?"

"Belum ada keluarga yang datang," katanya.

"Lho, puterinya?"

"Saya pikir, Mbak puterinya..."

"Bukankah puterinya Lavenia yang mengantarkannya ke sini?"

"Dia diantar pegawai yayasan, Mbak..."

"Pegawai yayasan?"

"Iya, panti jompo..."

Aku melompong. Tragisnya nasib guru TK ini. Tak terasa menggenang air mataku karena haru. Setelah pertemuan di kantor itu, Miss tidak memberitahu lagi bahwa dia sudah tinggal di panti jompo. Dan bukankah yang menghubungi teleponnya Lavenia. Ternyata selama ini puteri guru yang berkharisma itu, menitipkannya di sebuah panti jompo di Bandung. Dan sampai hari ini Lavenia belum menengoknya. Bahkan mungkin tak akan pernah menengoknya.

Kali ini benar-benar membuat aku ingin menangis. Aku kembali ke kamarnya. Dan aku lihat dia sudah membuka matanya. Ketika aku masuk, dia berkata:

"Nia, Nia sini nak..."

Pasti sudah berada di luar kesadaran. Jangan-jangan sudah mendekati harinya. Aku mendekatinya. Aku genggam tangannya. Matanya nanar memandangku. Aku balas dengan senyuman yang getir. Aku tahu, di saat seperti ini, pasti yang dirindukan adalah puterinya.

"Kapan kamu menikah, Nia, ingat usia." katanya lagi.

Hatiku hancur berantakan. Pikiranku kacau tak terkirakan. Ada dilema mengembang di otakku. Apa yang harus kukatakan. Mengatakan yang sebenarnya bahwa aku Suzan, bukan Nia. Atau aku berpura-pura menjadi Nia untuk menyenangkan hatinya. Karena aku tahu tak mungkin menghadirkan Nia di sini, setidaknya untuk saat ini.

Aku orang yang paling takut menghadapai seseorang yang sakit dalam usia tua begini. Dan dari wajah perempuan itu, aku melihat sudah begitu payah menghadapi beban hidupnya selama ini. Perempuan yang kesepian diantara keramahan dan keceriaan hidupnya.  Dia mengurus anak banyak orang, tetapi anaknya sendiri tidak terurus. Itulah kelalaiannya, hingga puterinya pun mengabaikannya.

"Nia'" panggil perempuan itu.

Hatiku berdebaran dalam dilema. Dia menatapku dengan pandangan aneh. Bukan seperti pandangan orang kebanyakan. Bibirnya yang kusut tersenyum kecil.

"Apakah kamu mencintai Mama, Nak?"

"Ak... Ak..." aku tergagap, " tentu saja, Ma, Nia sangat mencintai Mama," ujarku membohonginya.

Mendengar jawabanku, perempuan itu tersenyum simpul. Senyuman puas dan bahagia.

"Mama juga sangat mencintaimu, Nak," lanjutnya.

"Tentu, Ma, Nia tahu itu," ucapku perlahan.

"Masihkah marah kepadaku, Nak?"

"Tidak, Ma, jangan banyak pikiran, pikirkan kesehatan Mama," jawabku.

"Iya, Nak, kalau Mama sembuh, kita akan tinggal bersama lagi ya?"

Aku kembali gelagapan. Tetapi karena terlanjur membohonginya, aku pun dengan niat baik mencoba menenangkan pikirannya. Pasti ada sesuatu yang ingin dia selesaikan dengan puterinya. Aku raih tangannya yang keriput. Tangan itu dingin.

"Tentu, Ma, aku akan tinggal dengan Mama, sekarang istirahat, jangan banyak pikiran, Ma," ujarku.

"Maafkan Mama selama itu tak peduli padamu, bahkan Mama lebih peduli dengan murid-murid Mama," air mata meleleh di pipi perempuan itu.

"Iya, Ma, Nia sudah maafkan," jawabku.

Tiba-tiba tangan yang aku genggam itu bergerak tak beraturan. Seperti layaknya orang yang sedang kejang-kejang. Aku menggenggamnya makin erat. Perempuan itu tubuhnya bergerak-gerak seperti ada yang menariknya dari atas. Wajahnya kosong menengadah. Nafasnya satu-satu dan sudah hilang kesadaran.

Aku memanggil suster. Dua orang suster masuk ke kamar. Lalau membantuku memegang Miss Siska. Mantan guru TK itu terus mengejang. Aku berpandangan dengan suster setengah baya itu. Dia tampak begitu tenang. Mungkin karena sudah terbiasa menghadapi situasi semacam ini. Sedangkan aku, jadi ingat kisah-kisah orang yang sakratul maut. Keringat dingin mengucur di tubuhku. Dan air mata tak bisa aku bendung, meluncur dari mataku.

Dari gerakan-gerakan kejang-kejang yang simultan dan terus menerus, kemudian berakhir dengan hentakan kejang yang luar biasa. Aku melihat wajah tanpa daya. Matanya terbuka, mulutnya tertutup seperti menahan sakit yang teramat sangat. Setelah kejang dengan hentakan yang paling kuat, tubuh kurus kering itu lunglai. Lemas. Lalu diam.

Perawat meraba denyut nadinya dengan meraba pergelangan tangannya. Lalu menatap mataku dengan sedih.

"Sudah tiada," ujarnya.

"Benarkah Sus?"

Lalu suster itu meraba belakang telingan Miss Siska, dan menggeleng. Aku masih terbengong tak percaya. Sesaat sebelum berbicara berdua tadi, aku sempat berfikir tentang sakratul maut. Ternyata Tuhan mengatur sebuah sakratul maut guru tercintaku di hadapanku. Air mata meleleh perlahan di pipiku. Alangkah sedihnya, perempuan tua itu, pasti beliau sangat ingin ditunggui puterinya, Lavenia. Dan aku telah membohonginya, agar hatinya tenang.

Perawat itu menutup kepala Miss Siska dengan selimut.

"Anda puterinya?"

"Bukan, saya muridnya, murid TK-nya."

Pemakaman umum Tanah Kusir yang berangin. Yayasan telah mencatatkan nama Miss Siska untuk dimakamkan di pemakaman yang berlokasi di Jakarta Selatan itu. Aku mengajak Antariksa dan Elang untuk melayat.

Upacara Pemakaman sepi. Hanya beberapa saudara dan teman-temannya yang hadir termasuk puterinya Lavenia.

"Hallo Nia," sapaku kepadanya.

"Makasih Suzan, sudah menunggui Mama," katanya.

"Sama-sama," kataku.

"Sudah aku pikirkan sejak awal, jiwa Mama lebih menyatu dengan dirimu, daripada dengan aku, aku hanya anak yang terabaikan," katanya.

"Nia, saat-saat terakhir Beliau, hanya kamu yang dirindukannya, bukan aku," kataku.

Wanita cantik dengan gaun hitam itu memandangku. Lalu dia membetulkan kerudung hitam transparannya yang melorot di pundaknya. Ada ekspresi yang tak aku pahami.

"Tak perlu membohongi aku, bertahun-tahun Mama menghabiskan hidup, pikiran dan memberikan hatinya untuk murid-muridnya. Bahkan wajah dan namaku saja mungkin sudah tak ingat," sergahnya dengan keras.

"Itu betul, Nia, aku tidak bohong, Beliau mencarimu, Beliau minta kamu memaafkannya, karena telah mengabaikanmu, aku dengar sendiri sebelum saat-saat terakhirnya..."

Perempuan muda itu, mendengus kesal.

"Selama ini yang selalu dibicarakannya hanya kamu, Suzan, kamu adalah perempuan hebat, dan aku harus mencontoh kehidupanmu."

"Oh, itu hanya karena terbatasnya pergaulannya. Miss tidak punya banyak teman, jadi juga tidak punya banyak cerita, sebagai guru, sangat wajar kalau Miss hanya berbicara seputar sekolah dan murid-muridnya."

"Tetapi itu terjadi bertahun-tahun, Suzan, dan dia tak pernah peduli dengan perasaanku, dengan cemburuku."

"Baik aku mengerti perasaanmu, Nia, aku bersama beliau pada saat-saat terakhirnya. Waktu itu sempat beliau minta agar kamu kembali kepadanya, hidup bersama denganya di rumah lama di Jakarta, itu saja pesan beliau."

"Sekali lagi terima kasih, Suzan."

"Iya, sama-sama."

Nia melangkah meninggalkanku. Aku lalu menghampiri Antariksa yang sedang berdiri dengan Elang. Aku raih tangan dua lelakiku itu dan aku ajak meninggalkan pemakaman. Antariksa memeluk pundakku, sedangkan tangan Elang  aku genggam erat dan penuh cinta.

Angin memburai lembut. Pokok-pokok pohon kamboja begitu teguh menjaga nisan-nisan yang bertebaran itu. Bunga-bunga mawar wangi di atas gundukan-gundukan tanah. Aku melingkarkan tanganku di pinggang Antariksa. Menembus kerumunan orang dan berjalan tanpa kata menuju lapangan parkir. (Anggie D. Widowati)

Note: Cerita-cerita ini diadaptasikan dari kisah nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun