Tetapi kenapa aku merasa belum siap untuk menikah lagi. Tak ingin melepasnya, tetapi belum ingin mengikatnya. Daun-daun cinta indah bertumbuh di relung hatiku. Membias bagai fatamorgana yang anggun berkilauan. Tetapi tidak dengan jiwaku. Jiwaku masih ingin terbebas dari ikatan cinta. Mungkin karena trauma, mungkin karena takut gagal, mungkin karena ingin menikmati kesendirian ini. Atau karena aku dan Elang adalah suatu kesatuan yang entah, yang membuat aku ingin menikmati berdua saja.
Elang masih belum menanyakan keberadaan seorang Ayah. Elang merasa cukup bahwa kami berdua saja jalani semuanya ini. Jangan ada orang lain dulu. Itulah lingkaran-lingkaran hati. Ada aku dan Elang. Ada aku dan Antariksa, tetapi tidak ada Aku, Elang dan Antariksa. Bukan sekarang, atau bahkan tidak sama sekali. Posisi itu harusnya Harry.Â
Alangkah sempurnanya kalau ada Harry diantara aku dan Elang. Tetapi Harry tak ada. Kami jadi nggak sempurna. Hanya ada ibu dan anak. Dua saja. Timpang. Dan kami berdua terus berjalan dengan langkah timpang, sampai akhirnya kami menemukan kesempurnaan di ketimpangan itu. Berdua saja, antara aku dan Elang.
"Aku belum siap," kataku pada Riksa saat dia tanyakan itu.
Dia diam. Air mukanya berubah. Aku agak gelagapan. Aku takut dengan ketegasanku sendiri. Dan laki-laki yang membenci masa lalunya ini, seperti ingin menerkamku. Aku melihat matanya yang gusar.Â
Aku merasakan hatinya gelisah dan merasa tertolak. Lagi-lagi aku meraba dalam melangkah. Aku berhadapan dengan laki-laki yang menjalani hidupnya secara misterius. Aku tak takut pada sesuatu yang misterius, tetapi memang aku belum siap untuk menjalin komitmen lagi.
"Sampai kapan?" akhirnya dia  bersuara juga.
"Berilah aku waktu, Riksa, aku mencintaimu, tetapi berilah aku waktu," kataku.
Dia tak bicara apa-apa. Lalu memasukkan lap top kecilnya ke tas. Dua telepon genggam juga bergegas dimasukkan ke saku tasnya. Lalu berdiri, meninggalkanku tanpa pamit, Aku memandangi meja sambil diam.Â
Membiarkan segalanya terjadi. Itulah terakhir kali aku melihat laki-laki yang membenci masa lalunya. Bahkan aku sekarang mungkin menjadi bagian dari masa lalu itu. Aku tak pernah menemuinya di kantor lagi. Mungkin dia seposesif Ayahnya, atau dia hanya tak suka semua kenangan bersamaku yang sekarang hanya menjadi masa lalu. Dan dia meninggalkan segalanya.
"Kalau cinta tak lari kemana..." gumanku.
Anggie D. Widowati