Belum genap sepekan setelah dilantik Presiden Prabowo sebagai Menteri Keuangan RI menggantikan Sri Mulyani Indrawati, Purbaya Yudhi Sadewa langsung membuat gebrakan program Quick Win untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi Nasional melalui penempatan dana pemerintah sebesar 200 T ke 5 Bank Himbara, BRI, BNI dan Mandiri masing-masing sebesar Rp. 55 T, BTN sebesar Rp. 25 T dan BSI sebesar Rp. 10 T pada hari Jum'at 12 September 2025.
Terlepas dari beberapa kontroversi saat awal setelah dilantik, terkait beberapa statement yang dirasa kurang empati terhadap aspirasi masyarakat melalui tuntutan 17+8, serta gaya komunikasinya yang cenderung "koboy", Menkeu Purbaya dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan sutuasi yang ada. Saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Menkeu Purbaya menjelaskan dengan gamblang kondisi aktual perekonomian Indonesia serta langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat. Salah satu yang akan dilakukan adalah dengan menempatkan dana pemerintah yang selama ini mengendap di Bank Sentral sebesar Rp. 200 T ke perbankan, dhi Himbara, selanjutnya dana ini dapat digunakan Perbankan untuk mengucurkan kredit di sektor riil produktif dengan harapan dapat mendorong aktivitas perkonomian masyarakat.
Secara teori, kebijakan yang diambil Menkeu ini masuk akal, sangat progresif, namun juga memiliki risiko yang perlu di antisipasi.
Pertama, dari sisi ranah kebijakan. Kebijakan yang diambil oleh Menkeu ini sangat kental aroma moneter, sedangkan seharusnya Kemenkeu bergerak di ranah kebijakan Fiskal. Semenjak wacana penempatan dana pemerintah ini muncul, peran dan statement dari Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang seharusnya bergerak di ranah moneter sangat minim, menimbulkan tanda tanya besar, apakah Bank Indonesia sekarang tidak lagi independen dalam menentukan strategi kebijakan moneternya..? Apalagi ini adalah dana Pemerintah yang penempatan awalnya di Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.
Kedua, potensi side streaming dan NPL di Perbankan. Kita tahu bahwa dana pemerintah ini harus disalurkan dalam bentuk kredit produktif oleh Bank yang menerima. Pertanyaannya sekarang, apakah ada underliying yang jelas dan konkret dari kredit itu nantinya..? Dengan situasi daya beli masyarakat yang lemah saat ini, ekspansi kegiatan usaha dengan sumber pembiayaan dari perbankan tentu sangat-sangat berisiko dan menantang. Apakah industri mau dan mampu menyerap potensi pertumbuhan kredit ini..? jika pun mau, apakah mereka benar-benar mampu mengembalikan kredit tersebut dengan lancar plus jasa bunganya..? Ataukah mereka sekedar mau karena berencana untuk menggunakan kredit baru tersebut untuk menutupi hutang lain yang selama ini macet karena situasi ekonomi yang kurang baik beberapa waktu belakangan ini. Potensi penyalahgunaan kredit yang ujungnya akan meningkatkan Non Performing Loan (NPL) ini tentu harus diantisipasi oleh Perbankan, karena pada akhirnya jika NPL meningkat maka Perbankan sendiri yang harus menanggung biaya pencadangan atas NPL tersebut. Selain itu, harapan adanya dorongan aktivitas ekonomi dari pertumbuhan kredit jelas berubah jadi angan-angan.
Ketiga, kesediaan dan kepatuhan Perbankan untuk melaksanakan penyaluran kredit secara maksimal sesuai petunjuk Kemenkeu. Sebagai informasi, posisi rasio Loan to Deposit (LDR) Perbankan saat ini sedang rendah, laporan OJK per Juli 2025 LDR Perbankan masih dibawah 90% tepatnya di angka 86,54%. Dari 5 Bank Himbara yang akan menerima dana Pemerintah, hanya BSI, Mandiri dan BTN yang rasio LDR nya 90%, yaitu 91,4% untuk BSI, 92,6% untuk BTN, dan 93,5% untuk Bank Mandiri. Kondisi likuiditas yang tinggi itu menunjukkan bahwa sebenarnya permasalahan lambatnya pertumbuhan kredit bukan di likuiditas perbankan, seperti yang disampaikan di awal tadi bahwa memang secara prospek, perkonomian masih lesu sehingga pembiayaan ekspansi bisnis dari perbankan tentu melambat. Likuiditas tinggi ditambah penempatan dana dari Pemerintah yang besar, maka rasio LDR akan makin turun, maka justru mungkin akan menekan kinerja perbankan karena menggerus Net Interest Margin (NIM) mereka, walaupun dana Pemerintah itu termasuk dana murah bagi perbankan. Jika LDR terus rendah dan pertumbuhan kredit tetap sulit dicapai, maka mau tidak mau perbankan akan tetap mengalihkan sebagian dana tersebut ke instrument Surat Berharga Negara, walaupun itu dilarang oleh Kemenkeu. Karena bagaimanapun juga perbankan harus membayar biaya dana, jika LDR terus turun tanpa dialihkan ke instrument lain, maka NIM perbankan akan tertekan dan kinerja perbankan juga akan buruk. Potensi ini didukung dengan skema pengawasan yang tidak dijelaskan detail oleh Menkeu terkait penggunaan penempatan dana ini, sehingga sangat mungkin perbankan mbalelo karena memang tidak ada pilihan lain, pertaruhannya adalah penilaian publik terhadap kinerja perusahaan yang tercermin dalam laporan keuangan.
Keempat, potensi inflasi. Penyaluran dana Pemerintah ke sektor non produktif, dapat mengakibatkan inflasi karena jumlah uang beredar yang tinggi tidak diimbangi dengan ketersediaan barang dan jasa. Mengingat penyaluran kredit ke sektor konsumsi mungkin lebih menjanjikan dilihat dari sisi perbankan daripada penyaluran kredit ke sektor produktif di saat sekarang. Hal ini perlu diperhatikan dan diantisipasi oleh Kemenkeu, dengan memberikan skema dan pola pengawasan yang detail dan terukur atas penempatan dana Pemerintah tersebut. Terkait juga dengan poin Ketiga, bahwa potensi Perbankan tidak patuh itu ada, karena bagaimanapun perbankan tetap harus memperhitungkan kinerja perusahaan sebagai pertimbangan.
Sebagai penutup, tulisan ini saya buat bukan untuk mengajak kita pesimis, karena dalam situasi seperti sekarang ini optimis adalah satu-satunya pilihan kita. Namun demikian, saya mengajak kita semua untuk juga berpikir skala risiko yang bisa terjadi. Saya yakin Menkeu Purbaya punya hitungan dan analisa tersendiri mengenai ini, pengalaman beliau mengarungi beberpa kali krisis menjadi modal berharga. Tapi perlu diingat bahwa mengelola perekonomian Negara sebesar Indonesia ini bukan seperti hitung-hitungan matematika yang pasti, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi dan perlu diperhatikan dan dipertimbangkan. Harapan saya, perekonomian Indonesia akan terus bertahan dalam krisis dan tumbuh sesuai dengan potensi yang kita miliki, untuk akhirnya kita dapat menyongsong Indonesia Emas 2045 dengan kondisi masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur sesuai amanat konstitusi. Terimakasih.
Sragen, 14 September 2025
Krisnasakti Anggar PP
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI