Mohon tunggu...
Angga Munandar
Angga Munandar Mohon Tunggu... Advokat

Profession as an Advocate, has a passion for political developments, Education, health and most importantly cryptocurrencies which are currently and continue to develop

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Runtuhnya Ottoman: Ratapan Palestina, Doa India, dan Air Mata Aceh di Serambi Mekkah

15 September 2025   14:47 Diperbarui: 15 September 2025   14:47 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain & edit pribadi penulis 

Cahaya yang Padam di Istanbul

Tatkala mahkota Ottoman runtuh di Istanbul, seakan-akan bulan purnama jatuh dari langit, dan malam pun menjadi pekat tanpa cahaya.

Bukan sahaja Istanbul yang gelap, melainkan jiwa-jiwa di Timur dan Barat turut kehilangan suluhnya.

Palestina yang jauh di barat, menangis di bawah bayang asing, Masjidil Aqsha sunyi bagai yatim kehilangan ayah.

India yang luas di timur, doanya terhenti di tengah jalan, umpama sungai yang kering sebelum sampai ke lautan.

Aceh di ujung Sumatera, Serambi Mekkah yang gagah, pun meneteskan air mata, merasa dirinya tiada lagi berpayung.

Dunia Islam pun tercerai, bagai untaian tasbih yang talinya putus, biji-bijinya berhamburan, tiada lagi terikat pada satu simpul.

Namun di hati mereka masih ada iman, dan iman itu bagaikan bara yang tertutup abu, akan menyala kembali bila fajar menjelang.

Tatkala mahkota Ottoman runtuh di Istanbul tahun 1924, bukan hanya sebuah kerajaan yang hilang. Lebih dari itu, dunia Islam kehilangan payung besar yang selama berabad-abad menaungi. Bagai seorang anak yang ditinggalkan ayahnya, umat pun terombang-ambing tanpa pelindung, tanpa legitimasi, tanpa arah yang pasti.

Sejarah mengajarkan kepada kita, runtuhnya satu tiang agung boleh jadi mengguncang seluruh atap yang ditopangnya. Demikianlah Khilafah Ottoman: ketika ia tegak, tanah suci terlindungi, umat merasa satu keluarga. Tetapi ketika ia runtuh, Palestina meratap, India kehilangan doa, dan Aceh meneteskan air mata.

"Kala Istanbul meredup, bukan kota itu saja yang gelap, melainkan jiwa-jiwa yang jauh di timur dan barat turut kehilangan suluhnya."

Palestina: Luka Panjang di Tanah Suci

Palestina adalah jantung dunia Islam. Sejak 1517, tanah itu berada di bawah lindungan Ottoman. Selama empat abad, umat Yahudi, Kristen, dan Islam hidup berdampingan. Tidak ada suara tangisan massal, tidak ada perebutan tanah yang meluas. Semua tunduk pada hukum khalifah, walau tidak sempurna, namun cukup menjaga keseimbangan.

Namun, tatkala Perang Dunia I usai, Ottoman kalah, dan Palestina jatuh ke tangan Inggris. Dari sinilah duka panjang bermula. Pada 1917, lahirlah Deklarasi Balfour, janji Inggris kepada bangsa Yahudi untuk menjadikan Palestina sebagai "tanah air nasional". Janji itu ibarat pisau yang menoreh jantung umat Islam.

Maka orang-orang Yahudi pun berhijrah berbondong-bondong ke Palestina. Orang Arab terdesak dari kampung halamannya. Dan tatkala khilafah resmi dihapuskan tahun 1924, tiadalah lagi benteng diplomasi. Tiada lagi nama khalifah disebut dalam khutbah, tiada lagi pelindung yang mampu melawan imperialisme.

"Jerusalem pun menangis, Masjidil Aqsha seakan sunyi. Dari atap-atap rumah tua, doa terbang, namun tiada lagi payung besar yang menampungnya."

Kini, luka itu masih terbuka. Dari tahun ke tahun, penjajahan berganti rupa, hingga akhirnya Israel berdiri tahun 1948. Segala itu berpangkal pada satu: hilangnya payung Ottoman, yang dulu membuat Palestina terasa dilindungi.

India: Doa yang Tak Sampai

Jika Palestina kehilangan tanah, maka umat Islam India kehilangan doa. Tahun 1919--1924, lahirlah Gerakan Khilafat di Hindustan. Dipimpin tokoh-tokoh seperti Maulana Mohammad Ali, Shaukat Ali, dan Abul Kalam Azad, umat Islam menyeru: jangan hapuskan khilafah! Mereka merasa khilafah bukan sekadar milik Turki, melainkan milik seluruh umat.

Hebatnya, tokoh Hindu Mahatma Gandhi turut mendukung gerakan ini, menjadikannya satu panggung dengan Gerakan Non-Kooperasi melawan Inggris. Gandhi tahu, selama umat Islam terikat pada khilafah, ada persatuan yang bisa digerakkan.

Namun, tatkala Mustafa Kemal Atatrk di Turki menghapuskan khilafah tahun 1924, doa itu pun seakan terhenti di tengah jalan. Semangat umat Islam India padam, umpama pelita yang ditiup angin. Sejarawan Agus Cahyo Nugroho (2018) menulis, gerakan Khilafat runtuh bukan karena lemah, melainkan karena pusat yang mereka bela telah dihapus.

"Doa yang semula bergetar, kini hampa. Seruan yang semula bergema, kini senyap. Tiada lagi nama khalifah untuk disebut, tiada lagi panji untuk dijunjung."

Ketiadaan khilafah membuat umat Islam India tercerai. Hingga akhirnya, tanah itu pun terbelah dua: India dan Pakistan. Dan dalam perpecahan itu, tampaklah bayang kehilangan yang sudah ditoreh sejak 1924.

Aceh: Serambi Mekkah yang Menangis

Aceh, yang disebut Serambi Mekkah, punya hubungan istimewa dengan Ottoman. Sejak abad ke-16, Sultan Aceh pernah mengirim utusan ke Istanbul, mohon bantuan menghadapi Portugis. Dari Turki datang meriam, teknisi, dan semangat ukhuwah. Catatan William Marsden dalam A History of Sumatra (1783) menjadi saksi betapa hubungan itu nyata.

Di abad ke-19, tatkala Belanda menjajah Nusantara, Aceh tetap menyebut nama khalifah dalam khutbah Jumat. Itu bukan sekadar ritual, melainkan tanda bahwa Aceh merasa dirinya bagian dari dunia Islam yang luas. Dalam doa, Aceh berpayung pada Istanbul.

Namun, setelah 1924, kabar buruk itu sampai juga ke tanah rencong: khilafah telah dihapus. Tiada lagi nama khalifah untuk disebut dalam khutbah, tiada lagi legitimasi untuk dikibarkan melawan Belanda. Maka menangislah Aceh, meski jihadnya tetap berkobar.

Denys Lombard menulis, Aceh adalah satu-satunya kerajaan di Nusantara yang teguh menjadikan Ottoman sebagai pelindung moral. Maka kehilangan itu lebih perih. Tetapi jihad tidak surut. Sebab bagi Aceh, iman lebih teguh daripada meriam, dan harapan lebih tajam daripada mata pedang.

"Serambi Mekkah pun basah oleh air mata. Tiada lagi payung khalifah, namun semangat jihad tetap membara. Aceh tiada tunduk, sebab Allah tetap bersama."

Luka yang Menyatukan

Maka jelaslah, runtuhnya Ottoman memberi tiga luka besar:

  • Palestina kehilangan tanah dan payung politik.
  • India kehilangan doa dan semangat persatuan.
  • Aceh kehilangan legitimasi spiritual, hingga jihadnya hanya bertopang iman.

Namun, luka bukan akhir dari segalanya. Luka bisa menjadi guru, bisa menjadi suluh. Dari kehilangan itu, umat Islam belajar bahwa iman tiada boleh bertumpu hanya pada politik, melainkan harus tertanam dalam jiwa.

"Kala Istanbul runtuh, fajar memang sirna. 

Namun di balik gelap, ada janji Allah: Bahwa setelah malam pasti ada pagi, setelah luka pasti ada penawar. Maka Palestina tetap berdoa, India tetap berjuang, Aceh tetap teguh di Serambi Mekkah."

Angga Munandar, Medan, 15 September 2025.

Daftar Pustaka

Agus Cahyo Nugroho. Gerakan Khilafat di India Tahun 1919--1924 M. UIN Sunan Kalijaga, 2018.

Encyclopaedia Britannica. "Palestine: World War I and After." Diakses 2024.

Anadolu Agency. Jasa Gandhi bagi perjuangan Turki. 2020.

William Marsden. A History of Sumatra. London, 1783.

Denys Lombard. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda. Kepustakaan Populer Gramedia, 1991.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun