"Doa yang semula bergetar, kini hampa. Seruan yang semula bergema, kini senyap. Tiada lagi nama khalifah untuk disebut, tiada lagi panji untuk dijunjung."
Ketiadaan khilafah membuat umat Islam India tercerai. Hingga akhirnya, tanah itu pun terbelah dua: India dan Pakistan. Dan dalam perpecahan itu, tampaklah bayang kehilangan yang sudah ditoreh sejak 1924.
Aceh: Serambi Mekkah yang Menangis
Aceh, yang disebut Serambi Mekkah, punya hubungan istimewa dengan Ottoman. Sejak abad ke-16, Sultan Aceh pernah mengirim utusan ke Istanbul, mohon bantuan menghadapi Portugis. Dari Turki datang meriam, teknisi, dan semangat ukhuwah. Catatan William Marsden dalam A History of Sumatra (1783) menjadi saksi betapa hubungan itu nyata.
Di abad ke-19, tatkala Belanda menjajah Nusantara, Aceh tetap menyebut nama khalifah dalam khutbah Jumat. Itu bukan sekadar ritual, melainkan tanda bahwa Aceh merasa dirinya bagian dari dunia Islam yang luas. Dalam doa, Aceh berpayung pada Istanbul.
Namun, setelah 1924, kabar buruk itu sampai juga ke tanah rencong: khilafah telah dihapus. Tiada lagi nama khalifah untuk disebut dalam khutbah, tiada lagi legitimasi untuk dikibarkan melawan Belanda. Maka menangislah Aceh, meski jihadnya tetap berkobar.
Denys Lombard menulis, Aceh adalah satu-satunya kerajaan di Nusantara yang teguh menjadikan Ottoman sebagai pelindung moral. Maka kehilangan itu lebih perih. Tetapi jihad tidak surut. Sebab bagi Aceh, iman lebih teguh daripada meriam, dan harapan lebih tajam daripada mata pedang.
"Serambi Mekkah pun basah oleh air mata. Tiada lagi payung khalifah, namun semangat jihad tetap membara. Aceh tiada tunduk, sebab Allah tetap bersama."
Luka yang Menyatukan
Maka jelaslah, runtuhnya Ottoman memberi tiga luka besar:
- Palestina kehilangan tanah dan payung politik.
- India kehilangan doa dan semangat persatuan.
- Aceh kehilangan legitimasi spiritual, hingga jihadnya hanya bertopang iman.
Namun, luka bukan akhir dari segalanya. Luka bisa menjadi guru, bisa menjadi suluh. Dari kehilangan itu, umat Islam belajar bahwa iman tiada boleh bertumpu hanya pada politik, melainkan harus tertanam dalam jiwa.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!