Ekonomi Maluku Utara sedang dipuji-puji. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan menakjubkan: 27,27 persen (yoy) pada triwulan IV 2024, lalu meroket menjadi 34,58 persen pada triwulan I 2025. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tembus Rp95,8 triliun, dengan PDRB per kapita sekitar Rp70,7 juta. Media nasional pun ramai mengabarkan: "Maluku Utara motor baru ekonomi Indonesia."
Tetapi mari ajukan pertanyaan sederhana yang sering diabaikan: siapa yang sesungguhnya menikmati pertumbuhan itu?
Pasar Bebas yang Disandera Oligarki
Adam Smith, dalam The Wealth of Nations (1776), percaya pada kekuatan "tangan tak terlihat" pasar yang, jika dibiarkan bekerja tanpa monopoli dan kecurangan, akan menyejahterakan semua. Logika itu yang dipakai pemerintah ketika mengundang investor tambang nikel masuk ke Maluku Utara.
Namun, realitas di lapangan berbeda jauh. Pasar di Maluku Utara bukan arena bebas, melainkan panggung oligarki. Konsesi tambang raksasa jatuh ke perusahaan multinasional, seringkali lewat lobi politik dan relasi kuasa. Negara yang seharusnya mengatur justru berubah menjadi pelayan modal, memuluskan izin, membangun infrastruktur, bahkan menekan protes warga dengan dalih "stabilitas investasi."
Data Bank Indonesia justru memperlihatkan kontradiksi telanjang: meski pertumbuhan ekonomi meledak, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) naik menjadi 4,26 persen pada semester I 2025, dari 4,03 persen di akhir 2024. Inflasi ikut naik menjadi 2,32 persen (yoy). Jadi, sementara perusahaan meraup laba, rakyat justru menghadapi harga beras, ikan, dan kebutuhan pokok yang semakin mencekik.
Janji Smith terbukti tak berlaku di sini: pasar tidak pernah "netral." Ia dibajak oleh segelintir pemilik modal.
Marx : Pertumbuhan yang Lahir dari PerampasanÂ
Karl Marx sudah lebih dulu mengingatkan: kapitalisme tumbuh bukan dari keadilan, melainkan dari perampasan sumber daya dan tenaga kerja. Maluku Utara adalah buktinya.
Pertumbuhan spektakuler itu seluruhnya ditopang industri nikel. Hutan dibabat, laut dikotori limbah, ruang hidup nelayan dan petani dikorbankan. Buruh tambang direkrut, tetapi banyak didatangkan dari luar daerah. Upah rendah, jam kerja panjang, keselamatan diabaikan. Masyarakat lokal tetap di pinggir: tanahnya diambil, lautnya tercemar, tapi tidak ikut menikmati hasil.