Rasa iri, ternyata bukan selalu musuh. Kadang, ia adalah cermin. Cermin yang memaksa kita menengok ke dalam diri. Bukan untuk membandingkan, tapi untuk bertanya dengan jujur.
"Sebenarnya, apa yang aku cari?"
"Apa yang aku butuhkan?"
"Dan apa yang selama ini kupaksakan hanya karena terlihat baik di mata orang lain?"
Dari rasa iri, aku mulai mengenal diriku lebih dalam. Aku belajar membedakan keinginan yang muncul karena tekanan sosial, dengan tujuan yang tumbuh dari hati yang jujur. Aku menyadari bahwa tidak semua hal yang berhasil untuk orang lain akan cocok untukku. Dan itu tidak membuatku kurang. Itu hanya berarti aku berbeda. Dan perbedaan itu wajar.
Rasa kecewa pun punya perannya sendiri. Ia mengajarkanku bahwa hidup bukan soal logika satu tambah satu sama dengan dua. Bahwa kerja keras memang penting, tapi bukan satu-satunya penentu. Ada hal-hal yang tak bisa kita pilih sejak awal.
Tempat kita dilahirkan.
Lingkungan yang mendukung atau sebaliknya.
Akses terhadap pendidikan, informasi, dan kesempatan.
Bahkan, keberuntungan yang kadang hadir diam-diam tanpa bisa diprediksi.
Dari semua itu, aku belajar menerima kenyataan hidup dengan lebih lapang. Bahwa sekeras apapun aku mencoba meniru langkah orang lain, hasilnya bisa tetap berbeda. Karena memang sejak awal, hidup ini bukan ajang perlombaan meniru siapa yang duluan sampai. Hingga akhirnya aku sadar satu hal penting.