Mohon tunggu...
Angga
Angga Mohon Tunggu... Content Writer

Seorang penulis yang suka dengan dunia teknologi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apa "Sukses" Bukan untuk Semua Orang?

20 Mei 2025   09:00 Diperbarui: 19 Mei 2025   16:40 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Seorang Wanita sedang Merenung (Sumber: Unsplash/Abbat)

Karena kenyataannya, hidup bukan soal meniru resep yang sama dan mengharapkan hasil serupa. Kita tidak memulai dari titik yang sama. Kita tidak memiliki sumber daya, jaringan, keberuntungan, dan bahkan kondisi mental yang identik. Ada orang yang punya akses lebih dulu ke pendidikan, dukungan keluarga, atau lingkungan yang mendukung. Ada juga yang harus merintis segalanya dari nol, bahkan dari minus.

Dan pada titik itu, kalimat "kalau orang lain bisa, kamu juga bisa" mulai terasa hampa. Alih-alih memberi semangat, ia justru menimbulkan rasa bersalah saat kita tidak bisa mencapai hal yang sama. Kita jadi merasa kurang usaha, padahal sudah jungkir balik. Kita jadi merasa gagal, padahal hanya sedang menempuh jalan yang berbeda.

Di sanalah muncul kekecewaan, bingung, perasaan tertinggal. Dan aku pun mulai bertanya-tanya.

Apakah benar semua orang bisa mencapai apa yang dicapai orang yang kita anggap sukses?

Saat Kekecewaan Membuka Mata

Ada masa di hidupku ketika aku begitu yakin pada kata-kata manis yang bertebaran di mana-mana. Tentang bagaimana hidup akan berubah asal kita cukup percaya. Tentang bagaimana kesuksesan hanya tinggal menunggu giliran. Aku percaya sepenuhnya, menyimpan harapan, menolak ragu, dan melangkah seolah semuanya pasti akan berjalan sesuai rencana.

Tapi hidup tak selalu tunduk pada teori motivasi.

Ketika kenyataan justru membentur, saat usaha keras tak membawa hasil yang diharapkan, saat mimpi terasa makin jauh, rasa kecewa pun muncul pelan-pelan. Diam-diam menyusup ke dalam hati, menjadi beban yang sulit dijelaskan. Ada luka yang tak berdarah, tapi rasanya nyata. Ada tanya yang tak kunjung selesai, "Kalau saja dulu aku lebih cepat sadar mungkin hidupku akan jauh berbeda."

Iya, mungkin secara finansial lebih stabil. Mungkin hubungan sosialku lebih hangat. Mungkin aku sudah berhasil meraih apa yang dulu aku impikan.

Namun seiring waktu, aku mulai memahami bahwa luka dan rasa iri yang sempat muncul bukan untuk melemahkanku, tapi justru untuk menuntunku ke arah pemahaman baru yang lebih jujur, lebih membumi.

Agar aku berhenti membandingkan hidupku dengan hidup orang lain.

Agar aku mulai merangkul realita. Bukan untuk menyerah, tapi agar bisa melangkah dengan pijakan yang lebih nyata.

Kesadaran yang Tumbuh dari Luka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun