Karena kenyataannya, hidup bukan soal meniru resep yang sama dan mengharapkan hasil serupa. Kita tidak memulai dari titik yang sama. Kita tidak memiliki sumber daya, jaringan, keberuntungan, dan bahkan kondisi mental yang identik. Ada orang yang punya akses lebih dulu ke pendidikan, dukungan keluarga, atau lingkungan yang mendukung. Ada juga yang harus merintis segalanya dari nol, bahkan dari minus.
Dan pada titik itu, kalimat "kalau orang lain bisa, kamu juga bisa" mulai terasa hampa. Alih-alih memberi semangat, ia justru menimbulkan rasa bersalah saat kita tidak bisa mencapai hal yang sama. Kita jadi merasa kurang usaha, padahal sudah jungkir balik. Kita jadi merasa gagal, padahal hanya sedang menempuh jalan yang berbeda.
Di sanalah muncul kekecewaan, bingung, perasaan tertinggal. Dan aku pun mulai bertanya-tanya.
Apakah benar semua orang bisa mencapai apa yang dicapai orang yang kita anggap sukses?
Saat Kekecewaan Membuka Mata
Ada masa di hidupku ketika aku begitu yakin pada kata-kata manis yang bertebaran di mana-mana. Tentang bagaimana hidup akan berubah asal kita cukup percaya. Tentang bagaimana kesuksesan hanya tinggal menunggu giliran. Aku percaya sepenuhnya, menyimpan harapan, menolak ragu, dan melangkah seolah semuanya pasti akan berjalan sesuai rencana.
Tapi hidup tak selalu tunduk pada teori motivasi.
Ketika kenyataan justru membentur, saat usaha keras tak membawa hasil yang diharapkan, saat mimpi terasa makin jauh, rasa kecewa pun muncul pelan-pelan. Diam-diam menyusup ke dalam hati, menjadi beban yang sulit dijelaskan. Ada luka yang tak berdarah, tapi rasanya nyata. Ada tanya yang tak kunjung selesai, "Kalau saja dulu aku lebih cepat sadar mungkin hidupku akan jauh berbeda."
Iya, mungkin secara finansial lebih stabil. Mungkin hubungan sosialku lebih hangat. Mungkin aku sudah berhasil meraih apa yang dulu aku impikan.
Namun seiring waktu, aku mulai memahami bahwa luka dan rasa iri yang sempat muncul bukan untuk melemahkanku, tapi justru untuk menuntunku ke arah pemahaman baru yang lebih jujur, lebih membumi.
Agar aku berhenti membandingkan hidupku dengan hidup orang lain.
Agar aku mulai merangkul realita. Bukan untuk menyerah, tapi agar bisa melangkah dengan pijakan yang lebih nyata.