Mohon tunggu...
Angela Sunaryo
Angela Sunaryo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fighting~

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Always in My Heart

10 Februari 2020   15:50 Diperbarui: 10 Februari 2020   15:59 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Emily...tahukah kamu? Kalau ..."

"Apa?" tanyaku penasaran. Namun ia hanya menunjukkan senyum manisnya dan mengatakan sesuatu. Namun tak bisa kudengar. Lelaki itu kemudian pergi menghilang hingga mata tak sanggup melihat lagi.

          "Emily sayang, ayo bangun, sarapan dulu." panggil mama. Kelopak mataku terbuka dan menyadari kalau itu hanyalah mimpi. Namun hal itu terasa sangat nyata. Aku terdiam untuk sesaat dan memutuskan untuk bangun dari tempat tidur ini. Tempat yang adalah kamar rumah sakit yang sudah kuanggap kamarku sendiri dan telah kutempati 3 bulan belakangan ini. Dokter mengatakan bahwa aku positif terkena suatu penyakit. Aku tidak tahu mengapa hal ini terjadi padaku. Namun hal yang aku inginkan adalah keluar dari tempat ini secepat mungkin.

          Seperti biasa setelah sarapan aku selalu ke atap dan duduk sambil bertanya kepada langit, apakah aku bisa sembuh? Sampai kapan aku akan terus seperti ini? Dan entah mengapa aku jadi teringat teman masa kecilku, Daniel, yang dulu mengalami penyakit kanker di rumah sakit ini. Meski hidupnya berat, ia melalui hidupnya dengan ceria. Berbeda dengan diriku yang hanya pasrah menghadapi semuanya. Sekarang aku dapat merasakan apa yang dia alami. Menahan rasa sakit di rumah sakit ini sampai akhir hidupnya. Aku bangga padamu, Daniel. Semoga kamu tetap ceria, batinku. 

          Aku memejamkan mataku sambil menarik nafas dalam-dalam untuk menghilangkan semua rasa gelisahku. Tiba--tiba ada seorang yang berdeham, membuat perhatianku tertuju pada sosok di belakangku. Entah mengapa, ujung bibirku tertarik ke atas ketika melihatnya. "Hei, mengapa kamu tersenyum?" tanyanya. Ia terlihat mirip dengan teman masa kecilku, Daniel. Tapi, tidak mungkin! Kalau benar, kenapa dia ada di sini? "Kau sedang apa sih?" tanyanya.

"Hanya untuk menghirup udara segar saja. Kamu ... siapa?" pandangan bertanya-tanyaku tertuju padanya. Aku harus tahu, apakah benar orang ini Danielku---maksudku, Daniel yang kutahu?

Ia mengulurkan tangannya. "Aku Daniel." katanya, "Aku temanmu, ingat?"

Refleks, tubuhku membeku di tempat. Memangnya ada berapa banyak Daniel di dunia? Ini Daniel yang mana? Tidak mungkin Daniel ada di rumah sakit lagi, kan?

                                                                                                                                                 ***

Semenjak saat itu, aku sering bertemu dengannya di atap. Dialah satu-satunya orang yang bisa mengusir rasa sepiku. Lalu suatu hari mama datang ke kamarku dengan muka bahagia yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Emily kamu sebentar lagi sembuh sayang. Sembuh!" katanya sambil memelukku erat-erat. Aku pun juga merasa bahagia bisa sebentar lagi sembuh dan keluar dari tempat ini. Lalu mama pergi dan berkata akan kembali lagi.

Tidak lama setelah mama pergi, Daniel datang ke kamarku dan dengan ceria aku mengatakan bahwa aku sebentar lagi sembuh. Tapi tidak sesuai ekspetasiku, Daniel hanya terdiam dan raut wajahnya berubah seolah-olah ia tidak senang mendengarnya. Entah mengapa aku merasa ia sedih mendengar hal ini namun tak mungkin bukan? Daniel seolah tersadar akan kebingunganku dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya menjadi ceria dan berkata, "Wah selamat ya. Akhirnya hal yang kau inginkan tercapai juga."

Meski kesannya ia senang tapi aku bisa merasakan kalau ia tidak senang. Ada apa denganmu Daniel? Kataku dalam hati namun tak ingin kusampaikan. Kemudian Daniel mengatakan bahwa besok pagi ada yang ingin dia katakan di atap. Mendengarnya, aku sangat tidak sabar mengetahui apa yang akan dia katakan.

                                                                                                                                                 ***

Keesokan paginya, aku terbangun dan bergegas pergi ke atap. Tidak seperti dugaanku, ternyata aku lebih dulu sampai ke tempat ini. Setelah beberapa menit menunggu, Daniel akhirnya datang. "Hai! Maaf, aku terlambat." kata Daniel. Aku tersenyum, kemudian mengiyakan permintaan maafnya dengan gelengan pelan. "Iya, tidak apa. Jadi, apa yang ingin kamu katakan?"

          Daniel tiba-tiba terdiam. Menyisakan jeda beberapa saat. Atmosfir di antara kami tiba-tiba berubah canggung. Sebenarnya ada apa ini? Ia kemudian meletakkan kedua tangannya ke bahuku sambil berkata, "Emily, aku tidak tahan lagi. Aku tahu kalau apa yang akan aku sampaikan bakal terdengar aneh tapi kamu harus dengar baik-baik. Kamu harus tahu dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan. Namun perpisahan itu tidak selalu buruk. Mungkin dengan adanya perpisahan kamu bisa menjalani hidup lebih baik. Dan ini adalah saatnya dimana kita berpisah. Emily ... aku tidak bisa selalu berada bersamamu."

          Tanpa sadar mataku mulai berkaca-kaca dan dadaku terasa sesak. "Apa maksudmu Daniel? Apa kamu akan meninggalkanku?" kataku dengan suara yang serak. "Maafkan aku, Emily.  Tapi aku hanyalah halusinasi yang kamu buat dari teman masa kecilmu."  Tidak, aku tidak bisa menerimanya. Kutarik kedua tangan Daniel, kemudian menggenggamnya erat-erat. "Apa maksudmu? A-aku tidak mengerti!" aku berseru.

"Aku hanyalah teman halusinasimu, Emily. Aku tercipta dari pikiranmu sendiri, dari penyakitmu sendiri. Kamu tidak sadar?" Ia tertawa pahit, "Aku diberi nama Daniel karena kamu terus memikirkan teman masa kecilmu. Semua ini karenamu. Karena dirimu sendiri. Karena penyakitmu itulah, aku ada." Jelas Daniel.

"Aku tidak bisa percaya ini, Daniel, jadi maksudmu, kamu ada disini dan akan menghilang saat aku sembuh? Kamu itu manusia Daniel, Kamu tidak akan hilang meskipun aku sembuh." Ucapku sedih. Bendungan air mata yang sejak tadi kutahan perlahan runtuh. Air mata mulai mengalir pelan di kedua belah pipiku.

"Ya ... Dan kamu harus tau itu, Emily. Jangan salahkan dirimu karena, apapun itu, aku akan senang kamu bisa sembuh. Dan aku berharap, kamu bisa bahagia, Emily. Kamu jangan pernah memikirkan hal apapun lagi, Emily. Relakan aku pergi Emily, kamu akan sembuh dan kamu bisa melanjutkan hidup yang bahagia." Ucapnya sambil terisak sembari berbisik, "Dan mungkin menemukan pengganti ku yang lebih baik. Yang dapat mengisi hidupmu dan mendampingimu di kala hatimu terluka."

"Kamu bohong! Kamu bohong kan Daniel?" teriakku dengan suara yang pecah. Kemudian kurasakan sesuatu yang hangat. Ternyata Daniel sedang memelukku dan tangisanku semakin menjadi.

"Emily ...tahukah kamu? Kalau ... rasa sakit yang kamu rasakan sekarang tidak bisa dibandingkan dengan kebahagiaan yang akan datang." Lalu ia mendekatkan bibirnya dan berbisik ke telingaku dan lanjut berkata, "Be happy Emily. I love you, always." Sekejap Daniel telah menghilang tanpa jejak. Lenyap bagaikan embun pagi meninggalkanku sendiri. Mungkin inilah yang terbaik untukku dan dia.

Beberapa hari kemudian dokter mengakatakan bahwa aku sembuh total dan dapat kembali ke rumahku. Mama memasukkan barang-barangku ke dalam mobil dan mengajakku masuk. Tapi sebelum aku masuk ke mobil, ku lihat sekali lagi atap rumah sakit itu dan hatiku tiba-tiba terasa nyaman dan mengingat perkataanya yang terakhir. Maafkan aku dan terima kasih, Daniel batinku. Lalu aku masuk ke mobil dan mobil mulai bergerak meninggalkan rumah sakit itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun