Mohon tunggu...
andry natawijaya
andry natawijaya Mohon Tunggu... Konsultan - apa yang kutulis tetap tertulis..

good.morningandry@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Melihat Pengaruh "Brand Image" terhadap Konsumen

9 September 2018   15:46 Diperbarui: 9 September 2018   20:05 2977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konon, donut atau doughnut (bahasa Indonesia: donat), diciptakan secara kebetulan. Adonan kue berupa tepung terigu dicampur gula dan telur setelah selesai diuleni akan diolah dengan digoreng agar adonan tersebut matang secara merata.

Maka, menurut legenda di dunia kuliner, seorang pelaut Amerika Serikat bernama Hansen Gregory membentuk adonan tersebut seperti cincin lalu digoreng dalam minyak panas.

Singkat cerita jadilah kue donat dan menjadi salah satu hidangan populer di seluruh dunia. Sehingga donat menjelma menjadi peluang bisnis dengan keuntungan menggiurkan dan banyak yang mencoba mendirikan usaha untuk menjual donat secara serius.

Pada tahun 1950 di kota Quincy, Massachusetts, Amerika Serikat berdirilah salah satu ikon donat terkenal yaitu "Dunkin' Donuts".

Adalah William Rossenberg yang menjadi pemrakarsa berdirinya Dunkin' Donuts sehingga menjadi salah satu jaringan waralaba terbesar dan mendunia. Gerai "Dunkin' Donuts" dapat dengan mudah ditemui di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Ilustrasi: sfchronicle.com
Ilustrasi: sfchronicle.com
Namun menjelang akhir tahun 2017 lalu justru "Dunkin' Donuts" membuat gebrakan yang malah membuat para konsumen dan publik pecinta donat di Amerika Serikat kaget, "Dunkin Donuts" dengan berani membuka gerai baru dengan nama "Dunkin'", tanpa ada kata "Donuts" yang selama ini memang tak pernah terpisahkan dari satu merek yang menjadi kekuatan bisnis mereka. Gerai tersebut dibuka di Pasadena, California, Amerika Serikat.

Arah bisnis dari gerai ini seolah ingin menegaskan bahwa "Dunkin' Donuts" ingin lebih serius lagi menggarap pangsa pasar makanan dan minuman secara lebih luas dan umum.

Nampaknya mereka tertarik juga dan merasa yakin untuk menjual kopi, walaupun donat tetap menjadi salah satu menu yang dijual.

Selama ini "Dunkin' Donuts" memang telah menjual kopi, variasi roti isi dan bermacam makanan serta minuman, namun jaringan usaha mereka telah memiliki image sebagai penjual donat dan konsumen telah memiliki persepsi yang sangat melekat antara donat dengan merek "Dunkin' Donuts".

Kritik dan respon dengan nada penuh keheranan memang dilontarkan dari publik pecinta donat kepada "Dunkin".

Namun sepertinya sang produsen melakukan ini semua dengan telah melalui serangkaian proses, riset, dan pertimbangan yang dianggap dapat memberikan dukungan mumpuni untuk mengambil keputusan, merek baru dirilis tanpa kata "Donuts", cukup "Dunkin'". The show must go on, the business must make the money.

Hubungan Image atau Citra dan Merek

Kisah mengenai kagetnya publik di Amerika Serikat ketika "Dunkin' Donuts" berani menjual produknya tanpa menggunakan istilah "Donuts" sebetulnya dikarenakan publik telah begitu akrab dan mengenal Dunkin Donuts sebagai produsen donat ternama. Sehingga begitu mendengar atau mengucapkan nama "Dunkin" maka senantiasa identik dengan donat.

Ya, publik mengenal dan memiliki persepsi "Dunkin' Donuts" sebagai donat, walaupun pada kenyataannya jaringan mereka menjual banyak variasi menu.

Donat telah menjadi sebuah image atau citra yang melekat, sehingga penampilan baru "Dunkin" dianggap tidak menggambarkan "Dunkin" yang selama ini dikenal, terkesan janggal.

Ilustrasi: usatoday.com
Ilustrasi: usatoday.com
Tetapi hal ini memang terlanjur terjadi karena merek "Dunkin' Donuts" sangat dikenal sebagai donat oleh konsumennya.

Di sisi lain jika ditinjau dari perspektif bisnis, identiknya suatu produk atau merek dalam persepsi masyarakat dapat disebut sebagai brand atau product image.

Secara sederhana brand image atau citra merek dapat dipahami sebagai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh konsumen ketika mendengar suatu merek.

Jadi ketika seseorang mendengar suatu merek, maka dengan segera orang tersebut akan langsung teringat atau mengenalnya dengan produk atau jasa tertentu.

Sebagai ilustrasi jika kita melintasi jalan dan kemudian melihat reklame bertuliskan "Samsung", yang terlintas dalam benak kita tentunya adalah handphone berbasis Android dengan berbagai fiturnya yang ditawarkan. Walaupun sebetulnya "Samsung" juga memiliki lini produk lain dalam portofolio usahanya.

Ilustrasi: ridingirls.org
Ilustrasi: ridingirls.org
Philip Kotler mengungkapkan bahwa citra merek atau brand image merupakan keyakinan tentang merek tertentu.

Tentunya dalam hal ini adalah keyakinan dari konsumen sehingga akan memutuskan untuk menggunakan produk atau jasa dari suatu merek.

Pada dasarnya konsumen merupakan sekelompok manusia yang akan memutuskan pilihannya jika sudah memiliki rasanya yakin atau setidaknya mengenal suatu merek.

Sebagai gambaran dalam hal ini adalah, ketika seorang dari kalangan menengah ke atas dihadapkan pada pilihan untuk memutuskan membeli mobil mewah, kondisinya orang ini harus memilih salah satu dari mobil keluaran "Mercedes Benz", Jerman, atau mobil dari pabrikan Jepang, misalnya "Toyota".

Kecenderungannya adalah "Mercedes Benz" yang akan dipilih, karena "Mercedes Benz" telah sangat dikenal sebagai produsen mobil mewah yang tak terbantahkan kualitasnya.

Inilah salah satu contoh kekuatan dari brand image. Ketika suatu produk memiliki brand image yang sangat kuat, maka konsumen dengan mudah akan mengenali dan menyakini kualitasnya.

Brand Image dan Persaingan Bisnis

Dalam menghadapi iklim bisnis dengan disertai ketatnya persaingan dari  kompetitor dan tuntutan pasar, maka citra merek menjadi hal penting dan perlu diperhitungkan sebagai keunggulan untuk daya saing.

Suatu merek yang telah dikenal produknya dan mendapat kepercayaan dari konsumen akan memiliki kekuatan untuk menghadapi persaingan bisnis.

Konsumen menggunakan suatu produk, tentunya setelah membeli mereka mengetahui harga produk dan mungkin juga telah membandingkan dengan produk dari kompetitor.

Dengan melalui pertimbangan dan kebutuhan, akhirnya konsumen membeli dan merasakan manfaat serta kualitas dari produk tersebut.

Pada proses ini seorang konsumen mendapatkan pengalaman dalam merasakan manfaat setelah menggunakan produk ini, dan dia sudah mengenal merek dari produk itu.

Produsen peralatan dari Surabaya dengan merek "Maspion" adalah contoh bagus untuk mendeskripsikan bagaimana suatu merek dibangun, dibentuk, dan diperkuat untuk mendapatkan perhatian konsumen.

Dengan slogan, "Cintailah produk-produk Indonesia", produsen lokal tersebut mencoba menggugah perhatian konsumen untuk menggunakan produk asli Indonesia.

Jadi, jika konsumen hendak membeli peralatan rumah tangga, maka pilihlah produk dari Indonesia, tidak perlu produk buatan luar negeri.

Tentunya ketika kampanye ini dikomunikasikan, konsumen akan mengenal produk "Maspion" sebagai peralatan rumah tangga yang dapat diandalkan, juga buatan dalam negeri.

 Di Indonesia, "Maspion" menjadi merek yang cukup disegani untuk kategori peralatan rumah tangga, karena telah dikenal melalui brand image-nya. Artinya untuk peralatan rumah tangga, konsumen dapat mengenali dan meyakini identitas produk "Maspion" dapat bersaing dengan produk luar negeri.

Dari aspek kepentingan produsen, brand image juga dapat menjadi kekuatan atau nilai utama (core value) untuk produsen tersebut menjalankan dan mengembangkan bisnisnya.

Contoh lainnya dari merek asli Indonesia yang mampu mengelola citra merek menjadi core value adalah Teh Botol Sosro.

Untuk urusan market leader kategori minuman ringan di Indonesia, tak lain dan tak bukan penguasanya adalah Teh Botol Sosro.

Tetapi "Teh Botol Sosro" hanya salah satu produk yang dijual oleh PT Sinar Sosro. Karena sang produsen juga memiliki produk lainnya terkait minuman teh sebut saja "Fruit Tea" atau "Teh Celup Sosro" sampai dengan produk air mineral dengan merek "Prim-A".

Walaupun memiliki banyak merek, sebetulnya "Teh Botol Sosro" telah menjadi core value  dari produsennya. Karena melalui brand value "Teh Botol Sosro", konsumen dapat mengenal PT Sinar Sosro sebagai produsen.

Ilustrasi: mix.com
Ilustrasi: mix.com
Dalam kondisi ini melalui nilai suatu merek sang produsen menciptakan dan menjual produk lainnya yang merepresentasikan mutu dari merek yang telah dikenal. Merek yang menjelma sebagai core value digunakan sebagai duta bagi produsen untuk merebut kepercayaan konsumen.

Produsen tersebut berupaya agar konsumen yang loyal dan percaya terhadap merek utamanya untuk membeli dan menggunakan produk lainnya.

Secara sederhana adalah suatu merek dipasarkan, sukses bersaing dan memiliki brand image, kemudian melalui brand image yang telah terbentuk produsen mulai memasuki pasar dengan produk lainnya.

Antara Pengalaman Konsumen dan Brand Image

Interaksi antara konsumen dengan suatu merek merupakan proses utama yang harus menjadi perhatian untuk membangun brand image. Karena hal ini tidak tercipta begitu saja, melainkan melalui serangkaian proses di mana produsen berupaya mengkomunikasikan merek-nya agar dikenal konsumen.

Hasil dari komunikasi itu adalah digunakannya produk dan konsumen memiliki pengalaman terhadap produk itu. Kemudian pengalaman tersebut tersimpan dalam ingatan konsumen. Suatu merek yang tidak dikomunikasikan dengan baik tidak akan memiliki brand image yang terarah, atau malah bisa dilupakan begitu saja.

Ilustrasi: womensecret.info
Ilustrasi: womensecret.info
Tak dapat dipungkiri bahwa brand image sangat berpengaruh terhadap konsumen karena telah menyangkut aspek pola pikir, persepsi dan ingatan konsumen.

Ketiga hal tersebut biasanya mencakup kepercayaan dan pemahaman konsumen terhadap merek. Sehingga konsumen menjadi nyaman dan percaya terhadap merek serta produsen dapat memanfaatkan keunggulan ini untuk mengasosiakan merek unggulannya dengan produk dan merek lain yang dijual.

***

Ketika masyarakat terkejut dan menjadi gaduh terkait permasalahan Susu Kental Manis (SKM) yang ternyata kadar gulanya lebih tinggi daripada kandungan susunya.

Bukankah itu semua terjadi dikarenakan SKM telah dipersepsikan sebagai produk susu lezat yang menyehatkan, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap berbagai opini dan artikel yang membahas mengenai kontroversi SKM, sesungguhnya yang terjadi adalah keberhasilan pencitraan suatu produk dan/atau merek kepada konsumen.

Ilustrasi: tech2.com
Ilustrasi: tech2.com
Jika konsumen telah lebih dahulu mengenal SKM sebagai sajian pelengkap sebagaimana creamer atau sirup, mungkin konsumen tidak akan mengkonsumsi SKM selayaknya susu murni atau susu bubuk biasa. Ternyata semua itu hanya pencitraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun