Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Pada Sebuah Lukisan

24 November 2015   06:00 Diperbarui: 26 November 2015   15:07 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istriku mendekati anak tersebut. Ia berlutut, tangannya menyentuh bagian belakang tubuhnya. Ia terlihat berbisik. Sepertinya ia sedang membujuknya. Benar saja, tak berapa lama anak itu mendongakan kepalanya dan menatap pada istriku.

Sifat keibuannya sempat membuatku sedikit terharu. Ia memang sudah pantas memiliki seorang anak. Namun apa mau dikata. Sudah sepuluh tahun masa perkawinan. Tuhan belum juga mengaruniai kami dengan seorang anak.

Istriku mengajaknya bangkit untuk duduk di kursi. Namun ia menggeleng. Istriku juga bertanya tentang namanya. Ia tetap diam dan menunduk. Istriku menatap kearahku. Akupun ikut menggelengkan kepala. Kemudian kami meninggalkannya sendirian. Mungkin ia memang sedang butuh sendirian di situ. Aku membisikan kalimat itu pada istriku. Sekedar untuk mengurangi kekhawatiran yang mulai hadir di raut wajahnya.

Kami kembali keruang belakang. Kali ini bukan untuk melanjutkan sisa bacaan kami yang tertunda. Juga bukan untuk menghabiskan teh kami yang sudah mulai dingin. Kami kembali kebelakang untuk mengintip anak lelaki itu.

Dari balik buffet yang menyekat ruang tamu dan ruang tengah. Kami diam – diam memperhatikannya. Ia masih duduk disana. Memainkan jari telunjuknya pada lilitan rotan yang melingkar di kaki kursi. Lama memperhatikan. Kami akhirnya membiarkannya.

***

Setelah hari itu. Ia kerap kali datang kerumah kami. Seperti yang sudah-sudah ia selalu datang dan pergi tanpa permisi. Istriku melarangku untuk membentaknya apalagi mengusirnya. Pernah ia marah karena memergoki aku sedang mengunci pintu. Aku memang tak terlalu menyukai kedatangannya. Esok harinya istriku tak bicara padaku seharian.

Sebagai hukumannya ia memintaku untuk menemani anak itu setiap kali ia datang. Sedangkan istriku sendiri, ia selalu berada di ruang belakang. Menikmati teh dan buku-buku bacaannya. Katanya ia tak tega. Tak sampai hati melihat kondisi anak tersebut. Yang kian hari terlihat semakin kurus.

Sebenarnya ia tidak butuh diperhatikan. Apalagi ditemani. Karena dari beberapa kali kedatangannya. Setelah kuperhatikan ia selalu asik dengan dirinya sendiri. Memandangi lukisan yang menggantung di dinding itu.

Aku sempat bertanya padanya. Kenapa ia sangat menyukai lukisan pemandangan itu. Namun ia tak menjawab. Saat aku kembali bertanya tentang namanya. Ia juga hanya menoleh padaku. Tak berkata apa-apa. Namun terlihat di raut wajahnya kalau ia sebenarnya sangat ingin memberitahuku. Ingin bercerita banyak padaku. Tapi tak bisa. Belakangan aku tahu kalau ia sebenarnya bisu.

Aku sebenarnya mengerti. Lukisan itu, sebagaimana saat aku pertama kali melihatnya dipinggir jalan. Memang memiliki sesuatu. Semacam keindahan, ketenangan serta kedamaian yang telah berhasil menarik hatiku. Menarik jiwaku untuk memandanginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun