Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Komunisme, Kapitalisme, Teknologisme: Jalan Antara Menuju Ekonomi Pancasila?

6 Januari 2020   14:53 Diperbarui: 6 Januari 2020   18:22 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Komunisme, Kapitalisme, Teknologisme: Jalan Antara Menuju Ekonomi Pancasila?*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Ketika Uni Soviet runtuh orang bilang 'The End of Communism'. Tapi, waktu para jagoan pasar bebas (free-market champions) seperti Lehman Brothers, Enron, Arthur Andersen dan berbagai perusahaan dotcom ambruk maka orang juga bilang 'The End of Capitalism'.

Nah, kalau sudah dua ideologi besar (main-stream) seperti itu roboh, maka orang teringat tentang 'The End of Ideology-nya Daniel Bell. Hebatnya, ia sudah menuliskannya sejak era 1960an dulu.

Hipotesa Daniel Bell yang bilang bahwa  ideologi politik telah makin irrelevant di kalangan orang berakal sehat. Kenapa? Karena masyarakat masa depan akan lebih didorong atau ditarik oleh pergerakan teknologi!

Dari Thomas Friedman (The World Is Flat) kita tahu bahwa Tembok Berlin jadi rata dengan tanah lantaran teknologi informasi yang menjadi salah satu penyebab demokratisasi arus informasi ke segala penjuru. Tak ada mekanisme sensor yang cukup kuat untuk menghadang laju diseminasi informasi di era teknologi digital sekarang ini. Dan tatkala Tembok Berlin sebagai simbol kekakuan pemerintahan otoriter roboh, dampak gulungan ombaknya sampai ke Kremlin, Mikhail Gorbachev akhirnya turun tahta. Uni-Soviet berserakan.

Jadi apa yang tersisa? Ideologi apa lagi yang bisa ditawarkan untuk jadi acuan bersama? Teknologisme-kah? Saya sendiri belum tahu.

Masih banyak pertanyaan mengenai teknologi ini sendiri. Teknologi seperti apa? Netralkah dia? Siapa di belakang perkembangan teknologi ini? Ada kepentingan apa dibalik teknologi tertentu? Apa manfaatnya? Bagaimana etika dalam pemanfaatan teknologi itu? Dlsb.

Ideologi sebagai suatu cara pandang, suatu gagasan (ide) yang disistematisasi (jadi logos). Ideologi yang dengan rasa kagum dipercayai jadi semacam idola. Mengidolakan ideologi secara membabibuta, memuja tanpa pakai akal sehat bakal menyeret orang jadi memberhalakannya (idolatry).

Jadi oleh karena itu kita mesti sangat berhati-hati dalam mendekati dan memahami suatu ideologi, apa pun itu. Kritik-ideologi jadi imperatif, yang tanpanya kita cuma jadi seperti segerombolan tikus yang bisa digiring sang peniup suling kemana pun ia mau. Celakanya bisa juga digiring masuk ke jurang api.

"Now that the free market has failed, what do you think is the proper role for the state in the economy?" (kalau pasar bebas juga sudah gagal, bagaimana sebaiknya peran negara dalam perekonomian?)

Itu pertanyaan sederhana yang disampaikan Wakil Perdana Menteri Tiongkok, He Yafei, dalam sebuah pertemuan dengan beberapa tokoh ekonomi Amerika Serikat suatu sore di Manahattan, tahun 2009 lalu. (Ian Bremmer, The End Of The Free Market: Who Wins the War Between States and Corporations?, Penguin Group Publisher, USA, 2010)

Krisis keuangan global yang terjadi berlarut-larut telah mengikis kredibilitas lembaga seperti G7 yang selama ini dianggap juaranya pasar bebas. "By fall 2008, the G7 had become an irrelevant institution. The financial crisis made clear that no international body that includes Canada and Italy but excludes China and India can offer credible solutions to today's most pressing transnational problems." Begitu ujar Ian Bremmer.

Singkatnya, para juara pasar bebas akhirnya bertekuk lutut juga menghadapi ketidakpastian krisis keuangan global yang berkepanjangan. Terlalu banyak faktor disrupsi yang mesti masuk dalam kalkulasi bisnis yang de-facto dibatasi ruang dan waktu.

Di sisi lain, belajar dari Russia yang sedang mentransformasikan diri dari ekonomi-komando menuju ekonomi-pasar bebas juga mesti berhadapan dengan banyak mafia pasar gelap yang dengan cepat mengambil kesempatan dalam situasi kaotik saat transisi kepemimpinan. Atau mungkin juga mereka sudah ada sejak dulu lantaran dipelihara oleh faksi-faksi tertentu. Walahuallam.

Yang jelas masyarakat Russia dan negara bekas Uni-Soviet lainnya masih berupaya keras untuk beradaptasi hidup di tengah situasi kaotik yang membingungkan dan sarat dengan korupsi.

Tiongkok.  Jatuhnya komunisme tidak sertamerta berlakunya sistem pasar-bebas. Pemerintahan otoriter Tiongkok tetap pegang kendali mutlak. Para petinggi Tiongkok telah belajar dari pengalaman pahit tetangganya Russia.

Pelajaran pertama, jangan sampai rakyat kelaparan. Kalau itu sampai terjadi maka otoritas pemerintahan ambruk. Kedua, ekonomi mesti digerakkan dengan kombinasi antara dorongan pemerintah dan sambil memanfaatkan kreativitas-kewirausahaan dari populasinya yang berjumlah sangat besar. Ini potensi yang dahsyat. Ketiga, tatkala potensi ekonomi tadi berhasil dieksploitasi secara baik dan berhasil di pasar, pastikan bahwa pemerintah (negara) tetap punya kepemilikan saham yang cukup dalam lembaga usaha yang berhasil tadi. Sehingga pada derajat tertentu, negara tetap punya kendali.

Rupanya gaya ini lumayan membawa hasil. Gaya state-capitalism!

Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam pemahaman berdasar Undang Undang Dasar pasal 33 yang berbunyi:

"(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip  kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang."

Para pelaku ekonominya ada tiga: BUMN, Koperasi dan Swasta.

Bukankah Indonesia dengan 140an BUMN-nya sudah menerapkan gaya state-capitalism sejak dulu? Bahkan kita tahu bahwa BUMN adalah salah satu soko-guru (tiang) perekonomian bangsa disamping Koperasi dan Swasta.

Faktanya sekarang BUMN sebagai instrumen negara dalam dunia usaha (pasar) sedang mengalami banyak masalah (kasus korupsi yang akut/parah dan kronis/menahun). Dari 140an perusahaan negara kabarnya hanya 15 yang bisa berkontribusi.

Menteri BUMN yang sekarang (Erick Thohir) perlu bekerja keras dan cerdas untuk mendongkrak kinerjanya supaya betul-betul bisa jadi pilar yang kuat bagi perekonomian bangsa. Belum lagi jika kita telaah BUMD yang juga ratusan jumlahnya di seantero negeri. Itu juga bentuk korporasi-korporasi yang sebagian modalnya diambil dari APBD alias dari pajak rakyat. Itu juga bagian dari instrumen state-capitalism.

Walau dalam laporan kinerja 2018 oleh Menteri Rini Soemarno dikabarkan bahwa, per 31 Desember 2018 total aset BUMN Rp 8 ribu trilyun lebih, dengan total laba Rp 188 trilyun. Ini baru mencerminkan ROA (return on assets) sebesar 2,35%. Sederhananya, masih banyak aset BUMN yang belum optimal pemanfaatannya.

Belanja modal 2018 sebesar Rp 487 trilyun yang kebanyakan mengalir ke proyek infrastruktur. Kontribusi BUMN pada APBN 2018 katanya sebesar Rp 422 trilyun. Kalau APBN 2018 sebesar Rp 2,2 ribu trilyun lebih maka BUMN menyumbang sekitar seperlima kebutuhan dana pembangunan. Cukup signifikan peran BUMN ini, apalagi kalau dikelola dengan lebih baik lagi, ini tentu harapannya.

Koperasi masih perlu banyak pembinaan dan dukungan. Ditengarai bahwa dalam berkoperasi pemahaman para anggotanya masih sekadar memanfaatkan fungsi simpan-menyimpan saja, belum banyak yang meminjam untuk ekspansi kegiatan usaha.

Jumlah koperasi aktif sampai tahun 2018 ada 126 ribu yang merangkul sekitar 20 juta orang anggota. Modal sendiri yang disetor hampir Rp 75 trilyun, modal luar Rp 66 trilyun dengan volume usaha hampir Rp 146 trilyun. Per tahun 2018 SHU (sisa hasil usaha) yang dicapai sekitar Rp 6 trilyun.

Swasta. Terdiri dari entitas yang berskala besar, menengah, kecil dan mikro. Ini aktor ekonomi yang penting. Walau pernah ada kritik yang disampaikan Prof. Yoshihara Kunio tentang Ersatz-Capitalism (kapitalisme semu/pseudo). Singkatnya ini gaya korporasi swasta yang sekedar menyusu pada modal APBN/APBD belaka.

Para pemain kapitalisme-semu ini bisa kombinasi antara patron-client (penguasa-pengusaha), atau sekedar proxy saja dari pejabat/penguasa. Biasanya proxy yang ditaruh itu keluarga (anak, istri, keponakan atau bahkan pembantunya).

Skandal perbankan BUMN dengan pengusaha swasta berciri kapitalis-semu sudah bukan rahasia lagi. Mark-up nilai proyek dan praktek side-streaming dalam praktek pinjaman bank BUMN (maupun swasta) sepertinya sudah jadi praktek yang tidak asing. Apalagi yang namanya kick-back, tahu sama tahu sajalah.

Dari Sensus Ekonomi 2016 dilaporkan ada sekitar hampir 27 juta entitas perusahaan di Indonesia. Dimana 98% (sekitar 26 juta lebih) adalah berbentuk usaha kecil dan mikro (UKM), dan 2% sisanya (sekitar 450 ribu entitas) berbentuk usaha menengah dan besar.

Sebaran sektor usaha  ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera, hampir 80%. Sisanya 20% tersebar di luar Jawa-Sumatera.

Presiden Joko Widodo sudah mensinyalir bahwa APBN 2020 hanya berkontribusi 14,5% dari PDB. Maka ketiga soko-guru dan mesin ekonomi bangsa ini mesti aktif-kreatif bergerak untuk memicu dan memacu kinerjanya secara optimal. Pemerintah menyiapkan infrastruktur regulasi hukum yang, pasti, adil dan kondusif bagi publik (pengusaha dan pelanggan) agar platform bermainnya menjadi simetris.

Ditengarai pula masih banyak regulasi hukum yang silang sengkarut alias saling bertentangan. Maka inisiatif Omnibus-Law menjadi relevan untuk segera diaktualisasikan.

Trio soko-guru perekonomian bangsa, BUMN, Koperasi dan Swasta adalah kombinasi tiang perekonominan bangsa yang mesti dirawat dan diperkokoh terus.

Sebetulnya kita sudah lebih maju secara konseptual dengan mengajukan ide tentang Ekonomi Pancasila yang tiang perekonomiannya terdiri dari tiga unsur: BUMN/BUMD, Koperasi dan Swasta. Tinggal pelaksaanaannya secara profesional mesti dilakukan dengan disiplin yang tinggi. Konsistensi dan persistensi adalah kunci sukses yang mengikuti inovasi dan kreativitas bisnis modelnya.

Runtuhnya Komunisme Uni-Soviet dan Tiongkok, serta gagalnya sistem pasar-bebas ala Kapitalisme Amerika Serikat yang kemungkinan besar juga akibat disrupsi dari perkembangan teknologi membawa kita kepada suatu kondisi untuk berpikir ulang tentang sistem perekonomian yang cocok bagi Indonesia (dan mungkin juga bagi dunia).

Suatu sistem perekonomian yang bisa membawa bonum-commune (kemaslahatan bersama) menjadi realitas bersama. Suatu sistem perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.  Dimana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Dimana bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Suatu sistem perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip  kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Itulah yang kita kenal sebagai sistem Eknonomi Pancasila.

Komunisme, Kapitalisme, Teknologisme, apakah ketiganya merupakan jalan antara yang membawa (bahkan memaksa) kita ke arah Ekonomi Pancasila?

"Ancora Imparo!" kata Michel Angelo, yang artinya: I'm still learning! (saya masih belajar).

06/01/2020
*Andre Vincent Wenas* Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun