Banyak pengusaha manufaktur yang tertarik pada tax amnesty
Sementara di satu sisi tax amnesty atau pengampunan pajak menjadi agenda besar bagi Indonesia untuk tujuan jangka pendek mengejar target penerimaan pajak tahun 2016, ada atau tidak ada pengampunan pajak lewat tahun 2016 ini, wajib pajak atau subjek pajak penghasilan yang sengaja atau tidak sengaja melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) atau pengelakan pajak (tax evasion) dengan menempatkan penghasilan atau aset keuangannya di luar negeri, tampaknya harus melakukan introspeksi.
Konon Benjamin Franklin pernah mengatakan: “In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes”. Dan memang demikian mejelang era AEOI (Automatic Exchange of Information) atau pertukaran informasi secara otomatis untuk keperluan perpajakan negara atau yurisdiksi mitra, sepertinya apa yang dikatakan oleh Benjamin Franklin itu semakin mewujud di planet Bumi ini. Data Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes 11 Desember 2015 (lihat di sini) mencatat 97 yurisdiksi/negara sudah menyatakan komitmen untuk menerapkan. Intinya tidak ada negara atau yurisdiksi mana pun yang mau penerimaan pajak negaranya lari ke negara lain sehingga konsensus transparansi seperti ini menjadi pilihan yang mau tidak mau diambil. Konsekuensinya jelas, negara atau yurisdiksi yang tidak mau menempuh komitmen ini akan semakin terkucil.
Kerjasama antarnegara di bidang perpajakan sebenarnya bukan hal yang baru. Selama ini yang cukup dikenal adalah model P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) yang dikembangkan oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Namun dalam perjalanan waktu tetap saja masih ada yang kurang, terbukti penghindaran dan pengelakan pajak tetap saja hadir terutama dengan bermodalkan kerahasiaan bank. Ini yang memicu akhirnya Amerika Serikat menerbitkan aturan dosmestik tentang Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang mewajibkan lembaga keuangan di seluruh dunia untuk memberikan informasi terkait wajib pajak Amerika Serikat yang memiliki rekening di lembaga keuangan tersebut kepada otoritas pajak AS.
Perkembangan berlanjut ketika pada tahun 2014, negara-negara anggota G20 dan OECD menyetujui Common Reporting Standard (CRS) sebagai instrumen pertukaran informasi keuangan secara otomatis. Indonesia termasuk negara yang berkomitmen untuk melakukan pertukaran informasi secara otomatis untuk keperluan perpajakan tersebut.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, kerjasama antarnegara di bidang perpajakan bukanlah hal yang baru, namun demikian seiiring dengan perkembangan jugalah maka Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange of Information). PMK ini kemudian diubah dengan PMK No. 125/PMK.010/2015. Perubahan itu dimaksud untuk memperjelas cakupan pertukaran informasi serta menimbang beberapa hal lainnya misalnya penetapan pihak yang wajib memberikan data dan informasi serta yang menghimpunnya.
Satu hal yang ditegaskan dalam PMK No. 125/PMK.010/2015 adalah bahwa berdasarkan konvensi atau perjanjian tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan yang diikuti oleh Indonesia, negara atau yurisdiksi yang dimintakan informasi tidak boleh menolak memberikan informasi semata-mata karena negara atau yurisdiksi yang dimintakan informasi dimaksud tidak mempunyai kepentingan yang terkait perpajakan terhadap informasi tersebut dan tidak boleh menolak semata-mata karena informasi dimiliki atau disimpan oleh bank, lembaga keuangan lainnya, orang/badan yang bertindak sebagai agen atau yang diberi kepercayaan atau kuasa, atau pihak lain yang berkepentingan terhadap kepemilikan informasi tersebut. Maka dalam upaya untuk sinkronisasi terhadap PMK tersebut, pada bulan Desember 2015, Otoritas Jasa Keuangan akhirnya menerbitkan peraturan, POJK No. 25/POJK.03/2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Satu hal yang perlu dicatat dari POJK No. 25/POJK.03/2015, nasabah asing yang tidak bersedia menyampaikan persetujuan, instruksi, pemberian kuasa kepada lembaga jasa keuangan untuk menyampaikan data dan informasi dalam rangka pertukaran informasi secara otomatis akan berujung pada penghentian pelayanan transaksi baru kepada nasabah asing tersebut dan penolakan hubungan usaha jika masih dalam status calon nasabah.
Hal yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia tentunya bersifat timbal balik dengan kepentingan Indonesia di negara lainnya. Siapapun wajib pajak atau subjek pajak penghasilan Indonesia, pada akhirnya akan menemukan hal yang sama terhadap rekeningnya di luar negeri. Transparansi semacam inilah yang akan segera terjadi mulai tahun 2017. Era baru segera datang. Ada atau tidak ada pengampunan pajak, otoritas pajak akan semakin kuat posisinya dalam mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak. Hal alamiah yang dituju semua negara tentu saja. Ingat apa yang pernah dikatakan oleh Benjamin Franklin bukan? “In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes”.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI