Setiap tahun, ketika Indonesia mengirimkan satu film ke ajang Academy Awards untuk kategori "Best International Feature Film", kita menyaksikan ritual yang sudah akrab: pengumuman resmi, sorotan media, dan euforia publik. Film yang terpilih langsung disebut sebagai "nominasi Oscar", meski kenyataannya baru sebatas submission.Â
Di balik semangat itu, ada satu pertanyaan yang jarang diajukan: apakah kita benar-benar tahu medan yang kita masuki?
Proses menuju Oscar bukan sekadar mengirim film. Memang, setiap negara boleh mengirimkan satu wakil. Tapi dari puluhan submission itu, hanya segelintir yang masuk tahap shortlist, lalu nominasi, dan akhirnya satu pemenang.
Sejak pertama kali ikut serta pada 1987 lewat Nagabonar, Indonesia telah mengirimkan sekitar 26 film ke Oscar. Namun, belum satu pun berhasil menembus nominasi resmi (bahkan shortlist sekalipun). Padahal, secara kualitas sinema kita terus berkembang.Â
Film-film seperti Autobiography (2023), Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2018), dan Kucumbu Tubuh Indahku (2019) misalnya. Ketiga film yang menjadi wakil Indonesia untuk Oscar tersebut menunjukkan bahwa kita mampu menghasilkan karya yang kuat secara artistik dan teknis.Â
Tapi Oscar bukan hanya soal kualitas. Ia juga soal distribusi, kampanye, dan strategi.
Sebagai penonton yang tumbuh bersama film Indonesia, saya selalu merasa ada semacam paradoks dalam ambisi kita menuju Oscar. Di satu sisi, kita punya semangat yang tak pernah padam. Tapi di sisi lain, kita seperti berlari di tempat---berkeringat, bersemangat, tapi tak bergerak maju.
Saya menonton Denias, Senandung di Atas Awan ketika masih duduk di bangku sekolah, ketika yang saya pahami hanya bagaimana sebuah film bisa menyentuh hati. Lalu bertahun-tahun kemudian menyaksikan film Yuni di layar bioskop dengan rasa bangga.Â
Tapi rasa bangga itu sering bercampur getir. Karena setiap kali ada berita "film Indonesia masuk Oscar", saya tahu itu bukan nominasi, melainkan baru sebatas pengajuan. Dan saya tahu, kita belum benar-benar siap.
Kita boleh jadi punya sineas hebat, cerita kuat, dan penonton yang setia. Tapi kita belum punya sistem. Kita belum punya keberanian untuk berkata: mimpi ini butuh kerja keras, bukan sekadar selebrasi tahunan. Atau mungkin, kita juga belum punya cukup rasa percaya diri untuk bermain di panggung global tanpa merasa inferior?
Saya tidak ingin Indonesia menang Oscar hanya karena ingin diakui. Saya ingin kita menang karena kita tahu siapa diri kita, tahu kekuatan kita, dan tahu cara memperjuangkannya. Karena sinema bukan soal piala, tapi soal suara. Dan suara Indonesia layak didengar dunia.