Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Jelang Oscar 2026: Mimpi yang Terus Diulang, Strategi yang Belum Dimulai

19 Agustus 2025   15:58 Diperbarui: 20 Agustus 2025   11:01 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa negara sudah mengumumkan wakilnya untuk Oscar 2026 (sumber: dokumentasi oscar.org)

Setiap tahun, ketika Indonesia mengirimkan satu film ke ajang Academy Awards untuk kategori "Best International Feature Film", kita menyaksikan ritual yang sudah akrab: pengumuman resmi, sorotan media, dan euforia publik. Film yang terpilih langsung disebut sebagai "nominasi Oscar", meski kenyataannya baru sebatas submission. 

Di balik semangat itu, ada satu pertanyaan yang jarang diajukan: apakah kita benar-benar tahu medan yang kita masuki?

Proses menuju Oscar bukan sekadar mengirim film. Memang, setiap negara boleh mengirimkan satu wakil. Tapi dari puluhan submission itu, hanya segelintir yang masuk tahap shortlist, lalu nominasi, dan akhirnya satu pemenang.

Sejak pertama kali ikut serta pada 1987 lewat Nagabonar, Indonesia telah mengirimkan sekitar 26 film ke Oscar. Namun, belum satu pun berhasil menembus nominasi resmi (bahkan shortlist sekalipun). Padahal, secara kualitas sinema kita terus berkembang. 

Film-film seperti Autobiography (2023), Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2018), dan Kucumbu Tubuh Indahku (2019) misalnya. Ketiga film yang menjadi wakil Indonesia untuk Oscar tersebut menunjukkan bahwa kita mampu menghasilkan karya yang kuat secara artistik dan teknis. 

Tapi Oscar bukan hanya soal kualitas. Ia juga soal distribusi, kampanye, dan strategi.

Sebagai penonton yang tumbuh bersama film Indonesia, saya selalu merasa ada semacam paradoks dalam ambisi kita menuju Oscar. Di satu sisi, kita punya semangat yang tak pernah padam. Tapi di sisi lain, kita seperti berlari di tempat---berkeringat, bersemangat, tapi tak bergerak maju.

Saya menonton Denias, Senandung di Atas Awan ketika masih duduk di bangku sekolah, ketika yang saya pahami hanya bagaimana sebuah film bisa menyentuh hati. Lalu bertahun-tahun kemudian menyaksikan film Yuni di layar bioskop dengan rasa bangga. 

Tapi rasa bangga itu sering bercampur getir. Karena setiap kali ada berita "film Indonesia masuk Oscar", saya tahu itu bukan nominasi, melainkan baru sebatas pengajuan. Dan saya tahu, kita belum benar-benar siap.

Kita boleh jadi punya sineas hebat, cerita kuat, dan penonton yang setia. Tapi kita belum punya sistem. Kita belum punya keberanian untuk berkata: mimpi ini butuh kerja keras, bukan sekadar selebrasi tahunan. Atau mungkin, kita juga belum punya cukup rasa percaya diri untuk bermain di panggung global tanpa merasa inferior?

Saya tidak ingin Indonesia menang Oscar hanya karena ingin diakui. Saya ingin kita menang karena kita tahu siapa diri kita, tahu kekuatan kita, dan tahu cara memperjuangkannya. Karena sinema bukan soal piala, tapi soal suara. Dan suara Indonesia layak didengar dunia.

Jelang Oscar 2026, siapa wakil Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun