Mohon tunggu...
Andong GunturMaulana
Andong GunturMaulana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak ada profil

seorang pelajar ingin jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Substansi atau Sensasi?

15 Desember 2018   12:10 Diperbarui: 16 Desember 2018   07:53 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar : TEMPO.CO)

Tahun ini tahun panas. Demokrasi diuji dengan adanya hajat Nasional untuk pemilihan anggota legeslatif dan pemilihan presiden. Pemilihan presiden kali ini sangat ketat. Hanya ada dua alternatif calon yang akan memimpin negeri ini lima tahun yang akan datang. Sama dengan pilpres sebelumnya,yang juga diisi oleh dua pasang calon sekaligus kontestan yang itu-itu saja. Tidak hanya itu, kampanye yang disuguhkan dua pasangan calon masih saja menampilkan sensasi dan belum menyentuh substansi.

Perbedaan, perdebatan dan perselihan merupakan makanan pokok masyarakat yang hidup di negara demokrasi. Namun, itu bukanlah sebagai sebuah masalah karena siapa pun berhak bersuara selagi berpedoman pada nilai-nilai toleransi dan menghargai perbedaan.

Sorotan kini tertuju pada perselisihan dan perdebatan yang jauh dari apa yang publik harapkan. Kini ruang perselisihan hanya diisi senasi belaka. Contohnya saja banyaknya berita  di telivisi yang berisikan #2019GantiPresiden vs #2019TetapJokowi. Tidak ada manfaat langsung yang diterima masyarakat dari perang hastag tersebut.

Peneliti Lingkaran Politik Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby mengakatakan,kamapanye sensasi sebenarnya hanya untuk mencapai popularitas. Padahal dua paslon sudah sangat dikenal oleh publik. Harusnya sensasi tidak terlalu banyak mengisi agenda politik karena yang masyarakat butuhkan ialah harga pangan murah, lapangan pekerjaan yang terbuka seluas-luasnya, pelayanan kesehatan berkualitas dan terjangkau, dan pendidikan yang tidak membebani. Meskipun demikian, kita juga tidak dapat pungkiri bahwa masyarakat masih saja menginginkan sensasi yang mengisi ruang publik. Masyarakat masih saja mau terprovokasi dengan hoax yang ditelan mentah-mentah dan berujung ketegangan di masyarakat.

Apalagi, sensasi menjelang tahun pemilu dan pileg semakin tajam dengan gimik -gimik baru yang disajikan oleh para elite. Kata "politisi sontoloyo" yang terucap dari Jokowi sewaktu menghadiri pembagian 5000 sertifikat tanah di lapangan sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama,Jakarta Selatan (22/10/2018) semakin menghiasasi kontestasi politik. Sementara itu,pihak oposisi juga tak mau kalah dan ikut juga dalam permainan gimik seperti "tampang Boyolali" sebagaimana yang disampaikan Prabowo.

Pilpres dan pileg sudah selayaknya menjadi ajang adu program berbasis data,bukan hanya sekedar lempar sensasi sana sini. Politik kebencian semakin tajam melahirkan politik fitnah dan mengkotak-kotakkan masyarakat dalam dua kubu yang berbeda. Masing-masing kubu tidak lagi menggunakan logika untuk mencari kebenaran tapi malah mencari pembenaran. 

Lihat saja perdebatan antar dua kubu pendukung pasangan capres yang masih saja sibuk berdebat masalah "gondoruwo, sontoloyo atau tampang boyolali". Perdebatan substansial seperti  adu program mengenai kesehatan, pendidikan atau harga pangan justru tidak tampak di permukaan.

Tidak hanya retorika namun tahun politik juga diisi sensasi ala "sinetron". Sebut saja kasus Hoax Ratna Srumpaet yang mengaku dianiaya orang di Bandung, Jabar 21 September 2018 lalu. Kemudian kasus permintaan maaf dan pegakuan La Nyalla yang semakin memanaskan pentas perpolitikan di Indonesia. Serta penolakan Sandiaga Uno di pasar  Kota Pinang, Sumatra Utara yang dianggap sandiwara oleh Irma, politisi Nasdem di Posko Cemara Menteng, Jakarta Pusat Jum'at (14/12/2018). Pentas politik seperti ini semakin mengkontraskan nilai substansi yang belum tersentuh.

Buta terburuk adalah buta politik kata penyair dan dermawan Jerman, Bertolt Bercht.  Karena orang yang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat bergantung pada keputusan politik. Harapannya masyarakat tidak buta dalam berpolitik sehingga tau membedakan mana sensasi atau substansi demi dapat meningkatkan taraf hidupnya. 

Kampanye haruslah diisi dengan adu program antar masing-masing kubu. Mininmya adu alternatif kebijakan yang ditawarkan masing-masing pasangan calon, misalnya kubu petahana atau Jokowi-Ma'ruf, apa gagasan yang akan dilakukan jika terpilih. Lalu, di kubu oposisi kritik yang dilakukan haruslah berdasarkan fakta sehingga kedua kubu seolah-olah tidak ada bedanya. Politik substansi harus dikedepankan dari pada politik sensasi. Butuh tawaran konkret bukan hanya sekedar kritik karena kehidupan masyarakatlah yang dipertaruhkan dalam kontestasi politik 2019 nanti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun