Misalnya, apabila ada unggahan media sosial kandidat yang bernada kritik terhadap kebijakan pemerintah, itu tak serta-merta bisa dijadikan indikator buruk. Sehingga HR harus memahami konteksnya.
Etika lainnya, perusahaan dilarang menyimpulkan karakter hanya dari satu unggahan atau opini pribadi kandidat. Semua informasi harus diuji silang dan dipandang secara holistik.
Meski terkesan canggih, OSINT bukan pengganti dari proses seleksi formal. Teknik ini hanya menjadi pelengkap. Wawancara, tes psikologi, dan asesmen kompetensi tetap dibutuhkan untuk menilai kesesuaian secara objektif.
Namun demikian, kombinasi antara teknik tradisional dan digital ini terbukti membuat rekrutmen lebih akurat dan strategis. Tidak hanya hemat waktu, tapi juga mengurangi potensi kesalahan dalam memilih karyawan.
Profiling dan OSINT, jika digunakan dengan bijak, justru menciptakan proses rekrutmen yang lebih manusiawi. Perusahaan tak lagi hanya mencari 'pekerja', tapi juga pribadi yang cocok tumbuh dan berkembang bersama organisasi.
Dengan memahami keunikan setiap kandidat, penempatan kerja bisa lebih tepat, dan kolaborasi tim jadi lebih harmonis.
Efek jangka panjangnya? Produktivitas meningkat, konflik menurun dan loyalitas karyawan bertambah. (and)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI