Mohon tunggu...
And Media
And Media Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Journalist Graphic Design Web Development

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Empat Tahun Berlalu, Masih Kuingat Betul Pucat Pasih Wajahmu yang Berbalut Kain Mori

23 Maret 2019   21:57 Diperbarui: 23 Maret 2019   21:59 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi (source: https://redtea.com)

Berselimut kain putih, kulihat wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Jika digambarkan, mungkin saja dia saat ini sedang menangis. Entah penyakit apa yang ia derita, namun wajahnya terlihat begitu sendu.

Foto ilustrasi (source: google)
Foto ilustrasi (source: google)
Setelah kami yakin jika itu jenazah Nia, selanjutnya kami mengurus keperluan surat ke pihak rumah sakit, agar jenazah bisa segera kami makamkan. Kami juga menyampaikan kepada petugas kamar mayat, agar jenazah Nia juga dimandikan dan dikafani, karena dia orang terlantar.

Ironisnya, salah satu petugas kamar mayat kemudian nyeletuk ke kami, "Kalau di sini memandikan jenazah dan mengkafani biayanya Rp 500 ribu mas," ucapnya.

Kami berempat pun langsung terdiam. Dengan kondisi puasa, akupun mencoba bersabar, dan menahan amarah. Ironis memang, seseorang dengan kondisi terlantar dan telah meninggal, masih saja dibebani dengan biaya.

Sembari menyodorkan surat dari dinas yang menjelaskan bahwa perempuan itu adalah orang terlantar, aku terus melakukan komunikasi secara persuasif dengan petugas itu. Namun, tetap saja ia masih ngeyel dan tidak mau tahu akan hal itu.

Setelah lama berdebat, akhirnya petugas itu pun menyerah, dan menyarankan kami untuk membeli kain kafan sendiri. Pihaknya akan memanggilkan mudin untuk memandikan serta mengkafani jenazah Nia. "Yowes Mas, sampean tuku o kain kafan ambek kembang dewe. Engkuk mudin e pean kasih uang sak ikhlase," ujar petugas itu.

Mendengar hal itu, aku segera menghubungi petugas liponsos, agar mereka menyiapkan kain kafan. Kami juga langsung menghubungi petugas makam untuk menyiapkan liang lahat untuk pemakaman Nia.

Usai semua siap dan jenazah telah terkafani. Aku ingin melihat wajah Nia untuk yang terakhir kalinya. Wajahnya yang pucat, dengan berbalut kain mori seakan ia tersenyum melihatku. Dalam hati pun aku berkata, "Semoga engkau tenang di alam sana nduk, Al-Fatihah," ujarku dalam hati.

Kami bertiga kemudian mengangkat jenazah Nia ke mobil ambulance yang telah siap untuk bergegas menuju tempat pemakaman umum. Miris sekali memang, hanya kami berempat dan kedua petugas ambulance yang justru bukan saudara, kerabat, atau orang tua Nia yang mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir.

Memang nasib seseorang tidak ada yang mengetahui. Karena semuanya telah digariskan oleh Sang Illahi. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian itu. Kadang kala, orang-orang merasa kurang bersyukur telah diberikan kelebihan rizki, kesehatan, dan keluarga yang lengkap.

Memang di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna, tapi apa salahnya jika kita selalu bersyukur dan introspeksi diri. Karena sebenarnya masih banyak orang-orang di luar sana yang bernasib malang dan kurang beruntung. (and)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun