Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meja Makan

12 April 2024   05:18 Diperbarui: 12 April 2024   05:43 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi penulis 

Tampak hujan mengisi gentong yang kosong. Suara hujan di atas atas seng pun cukup nyaring. Foto-foto dalam bingkai seperti tatapan kosong. Suasana di rumah itu semakin mengesankan. Malam terasa panjang.

Meja makan tampak kosong. Tahun lalu kursinya masih terisi kecuali kursi di samping ayah. Memang kakak dan adikku sudah pisah rumah. Mereka sudah menikah dan mereka tinggal di masing-masing rumah berbeda. 

Tahun lalu memang sengaja kami bersaudara sepakat untuk mudik di Belanga. Sengaja ingin berlebaran bersama ayah. Berbeda tahun ini, hanya aku yang pulang menjenguk ayah yang tinggal sendirian. Anak dan istriku tidak ikut. Sengaja mereka di rumah mertua. 

Setelah sepulang dari makam ibu, aku sengaja memasakkan makanan kesukaan ayah. Sayur bening, kepiting masak dengan kuah santan, sambel dan terong bakar. Setelah semuanya sedia, aku bujuk ayah untuk makan berdua bersamaku. Iya duduk di kursinya sendiri, sementara aku duduk berhadapan dengannya. Sengaja aku tidak mengisi kursi ibu, aku ingin puas memandanginya. 

"Kenapa lama baru pulang kampung nak? Tanyanya dengan suara pelan. 

Aku pura-pura tidak mendengar bisikan itu. Terlebih ayah, jelas ia tak mendengarkan apa pun. Kecuali suara pecahan cangkang kepiting yang aku adu dengan batu uletan. Ayah tampak lahap menikmati makanan kesukaannya. Memang ibu pernah sekali mengusikku jikalau masakan kesukaan ayah seperti itu. 

"Kamu tidak rindu ibu nak?" Suara ibu masih terus berbisik.

"Ayah silakan tambah lauk, aku masak cukup banyak kok" 

"Apakah ayah tidak pernah dengar suara ibu? Apakah ayah selama 13 tahun sendiri di sini tidak pernah merasa aneh? Mimpi? Merasa kesepian? Maaf ayah, aku baru sempat pulang. Maklum kita orang Bugis, pantang pulang sebelum sukses. Ibarat pepatah sekali layar terkembang pantang surut ke belakang. Meski aku belum sukses ayah, tapi sedikit lagi, di penghujung". Balasku dengan harapan diaminkan oleh ayah.

"Habis ini kita ngopi bareng ayah"

"Siap! Ukhuk" balas ayah sembari menutup mulut yang masih tersisa makanan belum dikunyah.

Aku masih menatap kursi ibu dengan penuh curiga. Jangan-jangan ayah selalu berpikiran bahwa kami anak-anaknya tidak pernah rindu dengan kebersamaan ini. Beberapa kursi di meja makan itu, seakan bicara. Kami ada. Kami sedang makan bersamamu.

Di meja makan, suasana selalu mencair. Nasehat ibu selalu didengar. Di sini awal mula cinta diranum. Makanan memang simbol cinta kata ibu. Makanan tidak bisa masuk ke tubuh tanpa cinta. Beras jadi nasi, nasi jadi daging, darah hingga energi. Tak mungkin bisa demikian tanpa cinta. Salah tempat kita bisa duduk sama rendah sama tinggi, memakan makanan yang sama kalau bukan di meja makan. 

Di meja makan itu penuh dengan bunga-bunga. Piring berbunga-bunga, gelas berbunga-bunga. Hati kita pun berbunga-bunga melihat makanan. Amarah kita pasti surut saat mengunyah. "Saat belum ada meja makan, dulu kita makan dudu bersila" sambung ayah.

"Kapan kamu balik?" Tutup ibu sebelum pamit. 

Aku tak menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan ibu. Aku memandangi kursi kosong itu tepat di samping kiri ayah. Aromanya masih ada. Bulu masih merinding. Pasti ia masih di sini. Aku melihat ke balik cermin, tapi tak ada. Biasanya ketika datang pasti di belakang cermin, ia takut dengan cermin. 

Aku menunggu pertanyaan penutup dari ayah sebelum makanan di meja makan ini habis. Ia tak mengeluarkan sepatah kata pun juga setelah itu. Ia langsung menyeruput kopi dan mengisap kreteknya. Ia menghela nafas panjang. 

Aku pura-pura mengutak-atik hp yang tak jauh dari gelas kopiku. Aku mencari informasi negara mana yang menjamin orang tua jompo yang kesepian. DKM mesjid hanya melayani peribadatan. Kantor pemerintahan hanya melayani urusan administrasi. Itu pun kadang dipersulit tanpa orang dalam. RS hanya melayani pasien sakit. 

Ayah termenung memandangi foto dibingkai yang tanpa bicara atau memandangi balik. Kecuali kita tepat di arah pandangan orang-orang dalam foto. Seakan ia mengajak keluar foto itu, bercengkrama di sawah, mandi di sungai, makan ubi bakar dan minum air kelapa muda di kebun. Kita menyaksikan permainan sepak bola di beranda rumah bersama sembari ngemil kacang rebus. Kita ke surau bersama dengan sulih itu.

 Ayah terlihat melamun saat memandangi dirinya yang masih berambut gondrong. Aku mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menggerakkan gelas, atau menyodorkan pisang goreng. 

"Ayah, tidak ingin ikut ke rantauanku? Ayah tak apa tinggal sendiri? Ayah! Kita ke pasar lagi besok pagi? Kita ke pasar ikan?" Tanyaku tanpa balasan dari ayah. 

Aku berbalik, kursi tampak rapi, meja makan sudah bersih seketika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun