Mohon tunggu...
Andi Prasw
Andi Prasw Mohon Tunggu... -

aku hanya orang biasa,,,,yang mencoba melihat hidup secara sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ibuku Penguasa Melati

15 Mei 2015   21:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:00 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sungguh! bila mengetahui hari ini ibu akan meninggal. Aku tidak mungkin mengajak ibu pergi. Andai aku tahu.

Rumah itu sepertinya masih mati suri. Tidak ada pergerakan di dalamnya. Masih menutup diri, lampu teras masih menyala. Demikian pula dengan lampu di dalamnya. Sementara di samping rumah, dua pohon mangga tua, beberapa pohon pinus muda dan sejajar kembang bercampur warna-warni sejak subuh sudah bergerak bebas. Selaras mengikuti angin berhembus lembut. Seperti penari jawa yang malu-malu bergerak, dan pelan melambai manja. Gemulai seperti biasanya. Tak jarang pohon besar itu menggerak badannya sedikit keras menurunkan daun tua yang telah keras. Memulai kembali siklus alam. Meninggalkan yang kering dan menggantinya dengan yang baru.

Tempat tinggal kuno khas jawa masih kokoh menunjukkan kesombongannya. Walaupun semakin sayu warnanya karena usia. Dua jendela kembar lebar sisi kiri dan kanan mengapit pintu besar, menatap tegas ke depan. Mereka terlihat saling melengkapi dan melindungi. Dua pilar berdiri kokoh lurus ke atas menjaga langit rumah. Ranting tinggi pohon yang sebentar lagi berbuah itu, kadang masih menggesek-gesek genting. Ayam jantan berlari mencari ayam-ayam betina yang biasa bermain dengannya, berteriak semakin pelan dan jarang. Coba membangunkan penghuni rumah. Tanda gelap telah berganti. Hari telah semakin terang.

Aku membuka tirai jendela dan mengintip keluar. Jalan besar depan rumah sudah ramai. Lalu lalang orang dengan urusannya. Pagi membuat semua orang sibuk. Seperti mikrolet beberapa kali berhenti menunggu penumpang, kernet berteriak sambil lambaikan tangan. Tak lama, bergerak pelan pergi. Beberapa anak kecil dengan tas menggantung di punggung, bedak tebal serta rambut setengah kering membasahi seragam mungilnya berjalan ringan dan pasrah ke sekolah. Pengantarnya –biasanya ibu atau pembantu rumah tangga-, berjalan kemudian. Sambil awasi, mereka memulai gosip lagi. Mungkin melanjutkan cerita tentang anak sebelah rumah yang hilang. Sejak tersebar berita penculikan, mereka serius mengawal anaknya sekolah. Penjual sayur langganan, pak Jamal berhenti sejenak depan rumah tua ini menunggu dengan sabar. Dagangannya masih belum habis. Tapi tak lama kemudian pergi setelah beberapa ibu diseberang jalan memanggilanya. Pagi selalu bergairah. Aku berbalik ke arah dapur. Piring, sendok, gelas dan peralatan masak lain memanggil ku. Wajahnya nampak lelah teriak.

Tapi Rumah ini tetap sepi. Mungkin karena hanya sedikit yang menempatinya. Suasana seperti ini berbeda beberapa tahun yang lalu. Saat kakakku masih bersama di sini menemani ibu yang semakin tua. Canda dan teriakan tawa yang terjadi, lambat laun berubah. Perubahan menjadi nyata setelah mereka menikah. Kakak yang pertama Jaka, mempunyai 3 anak dan tinggal di kota lain. Dewi anak kedua, mempunyai 2 anak dan ikut suaminya. Meskipun masih satu kota. Lalu aku, Rara anak terakhir dan belum menikah. Sekarang, tinggallah aku dan ibu bersama rumah tua ini. Mencoba bertahan dan menjaga cahaya rumah yang semakin meredup sejak itu.

Melihat kedalam. Perabot tua seperti lemari kaca dan jam bandul tua masih tertata bersih di antara dua sudut yang saling berhadapan. Lukisan keluarga disampingnya nampak masih berwarna dan indah. Bersebelahan dengan ruang tamu terdapat satu ruangan tempat keluarga biasa duduk bersama. Hanya ada meja panjang tempat tv dan radio kuno peninggalan bapak serta kursi goyang tempat ibu biasa duduk sambil menonton tv. Seperti pagi ini. Ibu mengayun sambil membaca koran. Sesekali alihkan pandangnnya ke arah tv bila ada yang menarik perhatiannya. Ibu melakukannya tiap hari.

“bu ... kita kerumah mbak Dewi ya ....” teriakku dari dapur. Ibu mendengar acuh. Tidak menjawab hanya jerit kursi yang bersuara. Aku menghampiri dan mengulang ajakan namun ibu tiba-tiba berkata,

“tidak! Aku tidak sudi menginjak rumah kumuh itu lagi” ketus tanpa melihatku disebelahnya.

“Bu, Adit cucu ibu ulang tahun hari ini dan Rara sudah memesan kue. Apa ibu tidak kangen?” pancingku.

“Ra ... ibu tidak mau miskin. Seandainya Dewi mau nurut, pasti tidak miskin seperti sekarang ini. Harusnya mencontoh Jaka. Lihat dia sekarang. Kaya, rumahnya megah. Dan yang terpenting bisa membantu kita. Seperti kemarin sewaktu ibu opname. Siapa yang membayar semua obat dan biaya selama dirumah sakit kalau tidak kakakmu Jaka. Apa yang bisa di perbuat Dewi? Hanya membawa buah. Itupun aku berikan pada suster karena tidak sudi memakannya. Untung operasinya tidak jadi, meskipun aku sendiri tidak tahu” balas ibu. Kali ini aku yang diam.

“Rara, kamu anak ibu yang terakhir. Kamu harus ingat nasehatku. Carilah suami yang bisa membuat kamu bahagia. Maksud ibu, membuat kamu tidak miskin” kata ibu makin pelan. Aku menunduk. Kantong mataku menebal. Sia-sia usahaku mempertemukan. Sejak ibu tidak merestui pernikahan Dewi dengan mas Aqmal. Hubungan mereka merenggang. Suami mbak Dewi memang tidak mempunyai harta. Tapi harta mereka adalah kasih sayang. Aku melihat kehidupan mbak Dewi bahagia. Itu yang aku simpulkan bila berkunjung kerumahnya. Ini jauh berbeda dengan mas Jaka. Tak perlu aku ceritakan kebahagiaan seperti apa di keluarga mas Jaka. Aku saja negh. Aku bercerita yang baik-baik saja. Aku mengamininya dan aku melakukan yang baik pula nanti. Namun sepertinya ibu ingin segera mendorong ku ke jurang. Orang tua selalu mempunyai pemikiran yang aku sendiri tidak mungkin bisa mengimbanginya. Kesimpulannya, aku tidak bisa mengumpat atau menghindar dari kemauan ibu. Saat ini yang aku bisa lakukan hanyalah diam dan menangis tanpa air mata. Itu sangat sakit.

“ya sudah, kalo ibu tidak mau. Aku berangkat sendiri. Tapi kalo sampai sore aku tidak kembali, ibu jangan bingung ya” jawabku datar

“eh eh eh, kamu bilang apa barusan?” teriak ibu. Denyit kursi ikut berhenti. Ia diam beberapa waktu dan suara itu terdengar lagi.

“ya ... ibu tahu kan. Banyak penculikan di mikrolet. Barangnya dirampas, lalu orangnya dibuang. Beruntung kalo masih hidup, biasanya sudah menjadi .... “ kataku sambil melirik ledek ibu. Aku meluncurkan jurus terakhir. Menakuti. Biasanya sih berhasil.

“cukup! mau bikin jantung ibu berhenti lagi ya” kata ibu. Mimiknya serius. Dan aku? Yesss, sambil tertawa dalam hati.

“oke. Aku ikut denganmu, tapi dengan satu syarat.” Ibu berkata sambil menunjukkan jarinya tanda berhitung. Aku sedikit kaget. “Jangan sebut nama ibu. Anggapkamu berangkat sendiri. Aku menunggu duduk diteras. Dan satu lagi, jangan lama-lama di sana” ibu menjelaskan. Seperti perintah guru pada muridnya dan harus setuju. Aku melakukan gerakan mengangguk kepala dan ibu tahu tanda perjanjian telah terjadi.

-------

Matahari sudah tinggi ketika Rara dan ibunya turun dari mikrolet. Harus berjalan dua belokan lagi bila ingin sampai. Rumah Dewi tidak begitu besar. Seperti rumah kontrakan pada umumnya. Banyak bunga tergantung di sisi teras, mungkin untuk menyedap pandangan mata, karena terbatasnya lahan. Tak ada yang murah disini.

“Assalammulaikum ...“ Aku sedikit teriak sambil mencoba mengetuk pintu. Aku melakukan gerakan itu setelah mengintip, kakakku tidak terlihat. Sementara ibuku duduk sedikit sembunyi sambil melirikku. Dari mimiknya aku tahu, agar cepat menyelesaikan kunjungan hari ini. Sungguh menyesakkan. Di hari bahagia ada sedikit rasa yang terpecah. Setelah menunggu agak lama. Kakakku keluar dari kamar masih memakai baju solat. Nampaknya tidak sabar membuka pintu.

“waalaikummussalam ...” sahut Dewi dari dalam dengan wajah putih berbalut cantik tersenyum. Aku buru-buru masuk rumah, menghadang kakak ku keluar. Aku tak ingin kakak ku melihat ibu sedang duduk sendiri di teras. Aku sengaja duduk dekat jendela, sehingga ibu bisa mendengarkan kabar yang ingin dia dengar, termasuk keadaan cucunya. Yang aku tahu, dari semua cucunya, anak kak Dewi, Adit yang paling di sayang. Dia mirip masa kecil ayah, begitu suatu waktu ibu bercerita. “memang ibu melihat ayah ketika kecil?” tanya Jaka curiga. “Ayahmu teman bermain ibu sejak kecil” ibu coba ingat masa itu “sering, subuh kita sudah berjalan, bersama anak lain menyusuri jalan kecil di kampung. Dan yang paling tidak terlupa, ketika ayah mu memetik melati yang tinggi pohonnya tiga kali lipat. Meloncat-loncat dia berusaha, karena melati yang mekar indah bagus berada di atas mungkin karena sering kena matahari. Setelah dengan usaha yang tiada lelah, ayahmu bisa mengumpulkan beberapa, di antaranya robek tapi kebanyakan utuh. Memberikan semua bunga putih itu kepada ibu. aku mencium bunga itu. Mungkinkarenaaku perempuan sehingga dia mau melakukan hal semacam itu.” Kami semua diam dan tersenyum, ketika ibu menceritakan kenangan itu. Aku yakin pikirian kita sepakat saat itu. Ayah merupakan cinta sejati ibu. Dan kami bangga menjadi anaknya, buah dari cinta yang agung.

“Kamu sendirian? Kamu sehat? Berangkat jam berapa? Gimana kabar ibu? Apa sudah sehat?” dan masih banyak pertanyaan Dewi bila tidak aku segera memotong.

“kak, sabar. Duduk dulu” kataku buru-buru. “Ibu sehat alhamdullilah. Kak, aku tidak lama di sini” kataku sambil menunduk memegang tangan kakak ku. Aku bagai diujung jalan. Harus belok kanan apa kiri. Aku ingin lama disini namun ibu juga aku harus pikirkan keadaannya menunggu diluar.

“Adit mana?” tanyaku setelah sadar rumah Dewi sepi tanpa teriakan canda.

“Kamu gimana seh. Ya, belum pulang ....”

“begini kak, aku titip kue ini untuk Adit ya. Hari ini kan dia ulang tahun” kataku menunjukkan bungkusan warna merah dan berlapis plastik jernih tiap sisi dan atasnya. Sehinggadari dalam kue coklat terlihat, dengan gambar kecil tokoh superman kesukaan Adit.

“mengapa tidak kamu kasihkan sendiri? Sebentar lagi dia juga pulang. Ayolah tunggu dia. Kamu lama tidak kesini. Aku ingin mendengarkan cerita kamu, ibu dan kak jaka” bujuk Dewi sambil memelas. Aku tak tega namun bagaimana dengan ibu. tidak tahu harus bagaimana menjelaskan. Aku bingung.

“kak, ibu sendirian dirumah. Aku tak tega meninggalkan sendirian. Aku minta maaf ya” bujuk ku. Aku benar minta maaf kak harus mengatakan ini, aku berkata dalam hati.

“aku mengerti ra. Tapi paling tidak aku bikinan minum dulu ya. Tunggu sebentar” kata Dewi sambil berlalu menuju dapur. Sepeninggal Dewi, aku mencoba melihat keadaan ibu diluar, dengan sedikit membuka tirai

“ ayo ra cepet, jangan banyak omong aku sudah gerah di sini” bisik ibu dari balik kaca jendela. Ternyata ibumendengar semua pembicaraan kami. Aku mengangguk pelan, duduk dan menunggu Dewi datang dari dapur. Sambil menunggu aku mengambil majalah di bawah meja dan membukanya asal. Majalah dewi kebanyakan majalah dari majalah donatur. Aku sudah tahu sejak dulu kalaudewi selalu menyisihkan uang untuk diserahkan pada yayasan panti dan sebagai balasannya mereka memberikan majalah secara gratis. Kak Dewi, kamu hidup sederhana bahkan lebih banyak kurang tapi masih bisa memberikan sesuatu pada anak yatim. Aku merasa sedih. Pada suatu titik ketika aku membuka majalah. Aku melihat foto kak Dewi bersama beberapa anak di salah satu majalah yang aku buka. Dengan segera, aku menghentikan tanganku membuka halaman. Aku membaca dengan seksama keterangan dibawah foto itu. Dewi tersenyum melihat aku serius membaca majalah itu.

“kak, ini ....” tanyaku setelah dewi duduk kembali dengan membawa teh hangat.

“jadi begini. Pada suatu acara, ya semacam kumpul para donatur lalu dilanjutkan dengan doa bersama. Di sana mereka biasanya memberikan kesempatan pada donatur untuk minta di doakan oleh para anak yatim. Banyak para donatur yang minta doa tak terkecuali aku. Ra, aku menyadari aku tidak bisa berbuat apa-apa terhadap sakit ibu kemarin” dewi menjelaskan. Sementara ibu yang duduk setengah tertidur, mendadak matanya menjadi sulit terpejam. Cerita dewi membuatnya kembali mengingat peristiwa dirumah sakit.

“terus? Apa yang kakak inginkan?” tanya rara

“aku ingat hari itu kamis siang. Karena hari itu Adit pulang sore karena ada tambahan belajar di sekolah. Aku sudah berniat kesana. Aku meminta agar sakit ibu di ambil. Itu saja. Siang malam do’a panjatkan hanya untuk kesembuhan ibu. Aku tidak bisa memberi yang lain. Hanya doa ra ... hanya doa” kenang dewi. Matanya berkaca-kaca. Aku juga tidak bisa menahan tangis.

“maafkan ibu, kak. Maafkan bila ibu memperlakukan kakak seperti ini” tangis rara sambil memeluk dewi. Mereka berpelukan. Dewi mencium kening adiknya. Jilbab rara sedikit basah. Ibu mendengar suara kami juga diam. Peristiwa itu semakin jelas tergambar lagi.

------

Malam itu mendadak aku sulit bernafas. Rara segera membawa ku ke rumah sakit.

Aku terbaring lemah. Aku bisa melihat mereka tapi aku tidak bisa bersuara. Sementara jaka dan istrinya duduk di sebelahku. Dokter terlihat sibuk membaca hasil laboratorium tadi pagi. “Dok, bagaimana sakit ibu?” tanya Jaka gelisah pada dokter yang telah selesai memeriksa.

“jadi harus dilakukan operasi bypass jantung. Salurannyabanyak yang tersumbat” jelas dokter. Jaka terlihat kaget. Terlebih istrinya. Setelah dokter dan suster pergi meninggalkan kami. Wajah mereka tertunduk.

“pa, berapa biaya lagi? Ingat pa. Uang itu buat kita pergi ke eropa. Kita sudah merencanakan dua tahun. Anak-anak sudah tidak sabar dan aku tidak mau gara-gara ibu, papa membatalkan pergi” istri jaka sedikit marah, mengingatkan.

“ma, ibu sedang sekarat” jaka coba jelaskan

“tidak, aku tidak terima bila uang itu dipakai untuk operasi ibu. pokoknya aku tidak terima!” jawab istrinya sambil meninggalkan ruangan kamar.

Aku menangis melihat kejadian ini. Anak ku jaka tidak punya keberanian untuk membelaku. Hampir saja aku maki istrinya andai saja aku bisa. Menantu kurang aja. Begitu kira-kira umpatanku. Dalam hati aku memedam rasa itu. Namun entah mengapa aku lebih suka tinggal bersama jaka. Meskipun istrinya tidak suka. Lebih sering menganggapku baby sitter daripada mertuanya. Kemewahan sudah menghilangkan nalar.

Aku terbangun, suster mengambil darah ku lagi. Aku merasa enak badan pagi ini, namun aku acuh dan pura tidur. Lalu aku setengah sadar bangun. Jaka sudah berdiri didepan. Sendiri dia kali ini. Tiba-tiba dokter datang. Kali ini bukan satu tapi tiga dokter sekaligus memeriksa ku.

“Pak jaka. Ini adalah hasil lab tadi pagi.Semua persiapan operasi telah disiapkan. Ini para dokter yang akan melakukan operasi nanti. Namun ada satu kejadian yang membuat kami bertiga harus kesini segera” jelas dokter rudy, dokter jantung spesialis.

“ada apa dok?” jaka semakin tidak mengerti

“hasil pemeriksaan terbaru memberikan gambaran. Organ jantung ibu sepertinya telah normal. tidak ada penyumbatan jantung seperti sebelumnya. Sungguh ini membuat kami heran. Kami yakin ini mujizat Tuhan. Kami sering mengalami hal aneh namun khusus kasus ini. Nampaknya ibu adalah orang yang disayang oleh Tuhan. Atau ada orang yang selalu mendoakan sehingga dalam sekejap hal yang mustahil menjadi wajar” kata dokter dengan muka terharu dan takjub

“kami bertiga akan melakukan tes terakhir dan kalau normal maka dua hari lagi, ibu anda boleh pulang” lanjutnya

“terima kasih dok” kata jaka sambil jabat tangan doktererat, mukanya menangis. Jaka memelukku, aku ikut menangis dan masih belum yakin kalau bisa sembuh. Tapi tangisan Jaka lebih berat dari aku. Seakan menumpahkanbeban yang dia bawa beberapa hari ini. Terutama bila menanggung biaya yang amat besar.

Aku usap air mataku. Kembali aku tersadar ada benang merah antara kata dokter danmajalah Dewi. Aku teringat mengapa dokter tidak jadi melakukan operasi. Doa dan anak yang mendoakan.

Dewi aku benar-benar khilaf. Maafkan ibumu ini nak. Air mataku meleleh. Tanpa sadar aku berlari menemui mereka. Berdiri aku dimuka pintu. Tangisan Dewi dan Rara baru saja usai.

“ibu ....” dewi kaget. Rara tak kalah kagetnya

“dewi ibu minta maaf ya, ... aku ... sama kamu dan keluargamu” kata dan tangis ibu bercampur terpatah-patah tidak jelas. Lalu memeluk erat anak yang sempat hilang dari hidupnya. Dewi tersenyum. Kami bertiga menangis lagi. Tangis kami semakin keras. Menumpahkan kerinduan yang sempat terlepas. Semakin lama, hanya isak dewi dan rara. Isak ibu terhenti. Matanya terpejam. Nafasnya hilang. Dewi dan rara saling pandang. Malaikat maut tengah melakukan pekerjaannya. Butuh waktu agak lama Dewi, Rara untuk menyadari. Lolongan histeris panggil ibu membahana, mengundang tetangga berdatangan. Tuhan memang sayangi ibu. Aroma melati berhamburan harumi rumah mungil itu. Ketika ayah datang membawa sekeranjang melati buat ibu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun