Surat ini bukan hanya permohonan informasi, tetapi juga jeritan hati seorang keluarga yang merindukan kepastian.
Seorang serdadu Belanda yang bertugas di unit teknik bercerita bertahun kemudian kepada cucunya. Meski ia tak sempat menulis surat, dalam ingatannya selalu ada kalimat yang ia ingin tuangkan di kertas:
"Elke stap in het woud dacht ik slechts aan n ding: hoe ik kon terugkeren naar jou."
(Setiap langkah di hutan itu, aku hanya memikirkan satu hal: bagaimana aku bisa kembali padamu.)
Peran Pos Semasa Perang
Tidak seperti jaman sekarang, peran pos sebagai jembatan pesan saat itu sangat vital. Selama Perang Dunia II, layanan pos: baik melalui sistem tradisional, V-Mail (Victory Mail), maupun unit khusus seperti 6888th Central Postal Directory Battalion menjadi jembatan penyampai pesan yang menjaga semangat prajurit yang jauh dari rumah. Surat dari keluarga dan orang terkasih menjadi sumber kekuatan luar biasa; melalui baris-baris tulisan, jutaan tentara kembali merasakan kenangan, cinta, dan harapan, sehingga bagi mereka surat hampir sama pentingnya dengan makanan (Postal Museum).
Bahkan, untuk mengatasi hambatan logistik dan risiko kapal tenggelam, pemerintah Amerika Serikat saat itu memperkenalkan V-Mail, sebuah inovasi yang mengecilkan surat ke format mikrofilm sehingga hemat ruang dan memungkinkan jutaan pesan tiba lebih cepat (Wikipedia; Joyner Library).Â
Lebih mengesankan lagi, pada tahun 1945, sebuah unit khusus beranggotakan mayoritas perempuan kulit hitam bernama 6888th "Six Triple Eight", dengan semboyan "No Mail, Low Morale", berhasil menyelesaikan tumpukan 17 juta surat hanya dalam tiga bulan. Dari asumsi awal perkiraan butuh enam bulan. Prestasi ini menunjukkan betapa setiap kata dalam sebuah surat mampu menjadi penopang harapan, semangat, dan ikatan batin di tengah kerasnya medan perang.
Sementara di Hindia Belanda, pos memainkan peran vital bukan hanya sebagai sarana administratif, tetapi juga sama sebagai penghubung emosional bagi masyarakat di tengah gejolak perang.Â
Pembangunan Jalan Raya Pos oleh Daendels yang mempercepat pengiriman surat dari puluhan hari menjadi hanya 3--4 hari, jaringan pos menjadi tulang punggung komunikasi di kepulauan yang luas ini. Memasuki abad ke-20, Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT) memperkenalkan teknologi modern yang semakin mempercepat arus informasi. Namun, ketika Perang Dunia II melanda dan Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, sistem pos mengalami perubahan drastis. Pegawai diganti secara paksa dan pengawasan ketat diberlakukan. Meski demikian, surat-surat tetap menjadi "urat nadi" kehidupan, menjaga ikatan keluarga dan cinta di antara mereka yang terpisah jarak dan perang, sekaligus menjadi pengingat bahwa di balik kekuatan militer, ada kerinduan manusia yang dititipkan lewat secarik kertas.