Persis seperti judulnya, hampir keseluruhan film ini diiringi senandung syair dan tabuhan gimba (gendang) yang dipercaya serta diwariskan secara turun-temurun sebagai pengingat sekaligus medium untuk menjaga hubungan antara manusia dan para leluhur. Melalui prosesi adat, atau disebut juga upacara Balia/Nobalia. Mungkin, hampir di seluruh kawasan Nusantara atau bahkan dunia memiliki tradisi persis seperti ini. Tradisi leluhur yang dipercayai telah ada sebelum agama-agama samawi masuk di kawasan tersebut. Film ini merekam dua tokoh adat di Desa Kadia, Nenek Bungacina dan Om Hajaidin. Dua sosok ini merupakan tokoh sentral yang sepanjang jalannya film akan jadi narasumber dan pengarah tentang bagaimana, mengapa dan apa itu Balia.
Awal film memperlihatkan lanskap bulu dalam bahasa Kaili berarti gunung/pegunungan di sekitar Desa Kadia yang beriringan dengan lantunan syair-syair berbahasa Kaili dan tabuhan gimba. Syair tersebut memiliki arti mengenai awal mula terciptanya Desa Kadia, menceritakan tentang leluhur masyarakat Desa Kadia yang memiliki karomah dan membangun peradaban atas izin maha kuasa, serta puja-puji pada sang pencipta. Syair-syair dilantunkan dan diwariskan secara turun-temurun, tidak lain adalah untuk generasi selanjutnya agar selalu mengingat keesaan Tuhan.
"Ku sambut gembira dengan dendang kerinduan yang akan menuturkan cerita-cerita masa lalu. Kepada para remaja yang datang bertanya tentang asal mula adat peradaban di sini (kadia).Â
Tuhan yang maha kuasa yang melahirkan para leluhur,Â
telah lahir sosok yang memiliki karomah yang diibaratkan sebagai pohon beringin yang rindang dan tinggi menjulang,
semua orang akan mendapatkan perlindungan dariNya, Semua yang ada di dunia pun dilindungiNya,Â
tidak ada tempat lain untuk mengadu kecuali hanya padaNya."
"Dendang senduh usai sudah, waktunya telah tiba untuk menyembah sang pencipta. Duhai taulan tersayang, dengan demikian tenangkanlah hati duhai pendendang senduh."
Anggapan dan Wacana Luas
Kini upacara Balia masih memicu pro-kontra di masyarakat, penghujung tahun 2018 menjadi titik puncak Balia dicap sesat, karena upacara ini bagi sebagian orang dianggap upacara mengundang jin dan membawa petaka. Semua bermula saat festival tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kota Palu, Festival yang awalnya bernama Festival Teluk Palu ini mendapat beberapa sentuhan dalam tiap penyelenggaraannya, demi terus memeriahkan dan mendongkrak wisatawan, sejak 2016 berganti nama menjadi Festival Palu Nomoni yang sejak saat itu pula beberapa upacara dan tradisi Suku Kaili digelar, salah satunya upacara Balia. Pada tahun 2018, tepatnya 28 September saat memasuki waktu magrib, beberapa kawasan di Sulawesi Tengah diguncang gempa bumi yang disusul tsunami di Teluk Palu dan likuifaksi di beberapa lokasi.
Merendam Ujung Jari
Sedikit mencari tahu dari beberapa sumber dan coba merajut jawaban atas pertanyaan dan wacana berkembang. Balia nyatanya punya banyak jenis dan ragam syair, tergantung pada apa maksud dari pelaksanaannya. Seperti Balia untuk pengobatan, tidak serta-merta di laksanakan ketika dalam satu lingkup masyarakat terdapat orang yang sakit. Dibutuhkan usaha lebih dulu untuk mencari pengobatan lain dan jika telah dilakukan upaya untuk menyembuhkan dengan beragam cara namun tidak membuahkan hasil, barulah proses Balia dilaksanakan, itupun perlu pertimbangan matang-matang. Dengan maksud bertanya pada leluhur dan memohon doa pada sang pencipta agar menyembuhkan penyakit yang telah lama diderita.
Diyakini bahwa upacara Balia seharusnya dilaksanakan tanpa adanya intervensi yang tidak subtansial. Sebab Balia bukanlah parade atau perayaan yang hanya sekadar digelar dan jadi bahan tontonan serta bisa dilaksanakan kapan saja. Jauh dari itu, Balia adalah tradisi turun-temurun nan sakral yang punya banyak syarat untuk melaksanakannya, tradisi ini pula menyimpan banyak tanda-tanda(semiotik) contohnya pada beras pulut bermacam warna, nada tabuhan gimba, dan pakaian yang dikenakan. Satu hal pula yang dianggap buruk bagi sebagian orang dalam proses berlangsungnya Balia adalah ketika ada masyarakat yang mengalami "kemasukan" yang sudah barang tentu dikonotasikan negatif. Padahal kejadian ini justru diyakini sebagai bentuk para leluhur yang dianggap pilihan maha esa dan menjadi perpanjangan tanganNya untuk hadir di tengah-tengah upacara. Sebagai pemberi kabar pada generasi sekarang untuk menjalani kehidupan dengan bijak dan memperlakukan alam semestinya agar tidak mengundang murka Tuhan.
Gerak yang Berubah-ubah
Lupa adalah penyakit nyata untuk kemajuan zaman. Tidak begitu mengherankan mengapa berkembang narasi "Teluk Palu tidak mungkin disapu tsunami". Selain penyakit lupa, juga diteruskan berkali-kali yang barangkali dilakukan oleh mereka-mereka yang bahkan tidak pernah tahu-menahu. Seperti diawal-awal tulisan ini. Berkomentar agaknya lebih mudah dilakukan ketimbang mencari tahu lebih dulu, begitulah kurang lebih kehidupan masyarakat urban. Arus informasi yang padat dan silih berganti juga jadi faktor penyebabnya, selain modernisasi. Tidak bisa dimungkiri, kalau faktor-faktor tersebut yang jadi penyebab generasi muda agaknya tidak berminat untuk ikut serta mengambil peran penting dalam pelaksanaan tradisi para leluhur, Kesimpulan sederhananya: semua peninggalan masa lampau itu ketinggalan zaman dan teknologi masa kini adalah tren.
Seputar Film
Film dokumenter berdurasi 20 menit ini bertema kebudayaan, program kerja sama dengan Kemendikbud melalui pendanaan Indosiana, sebagai upaya merekam maestro tradisi lisan. Yayasan Tana Sanggamu Sindue sebagai penerima fasilitasi dana hibah, menggandeng Eldiansyah atau akrab disapa Ancha, untuk menyutradarai proyek tradisi lisan/tutur, serta melibatkan Iksam Djahidin Djorimi yang merupakan arkeolog dan kurator museum Sulawesi Tengah sebagai tim peneliti. Secara keseluruhan, film dokumenter ini hadir dengan percaya diri di tengah badai stigma negatif terhadap Balia.
kelihatan bahwa sang sutradara mencari metode dan cara pengemasan yang tepat untuk film yang mengangkat unsur budaya dalam durasi waktu yang terbilang singkat. Hingga tidak begitu membahas tuntas tentang apa itu Balia, mungkin juga diakibatkan karena terkungkung dalam satu tema "merekam maestro" yang membatasinya. Hal ini juga yang sedikit memperlihatkan kebingungan atas pesan apa yang akan disampaikan, disisi lain ada topik Balia yang dibahas, tapi disisi lainnya sang maestro patut ditonjolkan. Dua hal ini yang menjadi kebingungan yang samar dalam film dokumenter ini.
Itu mengapa film dokumenter ini tidak bisa berjalan sendirian, baiknya selalu ditemani sang sutradara (orangtua). Karena kalau sewaktu-waktu ada orang-orang yang bertanya selepas pemutaran tentang apa-apa saja menyoal isi film, kiranya butuh jawaban mendalam dan penuh tanggung jawab. Sebelum pertanyaan itu disusupi lagi oleh jawaban negatif tanpa dasar. Terakhir, untuk menutup tulisan ini, barangkali untuk mereka yang masih dalam proses dialog tentang Balia mungkin tidak akan puas akan tulisan ini. Itu sudah barang tentu karena seperti tulisan di atas, Untuk menilai atau menyimpulkan serta memberi komentar atas suatu tradisi. bijaknya, membutuhkan proses pencarian yang cukup lama serta metode yang tepat, sebab semuanya menyangkut soal peradaban yang sudah barang tentu jauh diyakini dan dilaksanakan dalam satu lingkup masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI