Mohon tunggu...
Andi P. Rukka
Andi P. Rukka Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang belajar menjadi birokrat

Menulis untuk menebar manfaat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuncup Demokrasi dari Tepi Danau Lampulung (Bagian Keempat)

23 Agustus 2022   04:29 Diperbarui: 23 Agustus 2022   04:40 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kondisi itu tentu saja berbeda dengan kebiasaan yang berlaku. Namun barangkali itu terjadi karena penghormatan mereka terhadap mendiang La Patiroi dan berharap Raja Kembar ini akan memerintah Cinnongtabi dengan baik sebagaimana mendiang ayahnya. Untuk membedakan wilayah kekuasaan kedua raja ini, Kerajaan Cinnongtabi dibelah secara virtual dengan sungai, yang dalam Bahasa Bugis disebut "Ipabbalisalo."

Setelah berjalan selama lebih kurang setahun, pemerintahan kembar itu mulai menunjukkan perbedaan arah. Di satu sisi La Tenribali memimpin dengan adil dan bijaksana, sementara di sisi lain La Tenritippe tidak menjalankan pemerintahan sebagaimana mestinya. Ia memiliki kecenderungan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. 

Dalam memutus perkara, La Tenritippe seringkali tidak meminta keterangan kepada kedua belah pihak sebelum mengambil keputusan. Di dalam tradisi masyarakat Bugis, kondisi seperti itu disebut "irempekeng bicara", sebuah perlakuan yang tidak mencerminkan keadilan dan kearifan seorang pemimpin.

Perilaku negatif dalam memimpin yang dilakukan oleh La Tenritippe tersebut akhirnya meresahkan penduduk Cinnongtabi. Banyak di antara mereka yang kemudian mengadukan kerisauannya kepada pemuka masyarakat atau bangsawan kerajaan, termasuk kepada Arung La Tenribali, atau kepada bangsawan Cinnongtabi lainnya, yaitu La Tenritau, La Tenripekka, dan La Matareng. 

Ketiga pemuka masyarakat ini merupakan sepupu Arung Cinnongtabi. La Tenritau dan La Tenripekka adalah anak dari La Patongai, adik La Patiroi Arung Cinnongtabi ke-4, yang menikah dengan We Tenripakkua, putri Datu Bola. Sementara La Matareng adalah anak dari La Pawawoi dengan We Temperenna yang merupakan Putri Datu Lagosi.

Atas permintaan masyarakat, maka berusahalah para bangsawanAkan tetapi upaya rakyat dan pemuka masyarakat Cinnongtabi untuk memperbaiki keadaan dengan mengingatkan sekaligus menasehati La Tenritippe tidak membuahkan hasil. Akibatnya, kehidupan masyarakat yang selama ini sudah diliputi ketentraman dan ketertiban, sebagaimana yang telah dibangun oleh La Patiroi selama puluhan tahun, akhirnya berangsur-angsur pudar. Kepercayaan rakyat terhadap terhadap kemampuan pemerintah melindungi rakyatnya menurun. Banyak orang yang merasa sudah tidak betah tinggal di Cinnongtabi. Keadilan yang diinjak-injak menjadi  sumber keresahan yang terus memuncak.

Dalam situasi yang sudah tidak kondusif itu, akhirnya La Tenribali bersama tiga orang saudara sepupunya memutuskan untuk meninggalkan Cinnongtabi. La Tenritau, La Tenripekka, dan La Matareng beserta Matoa Pabbicara, Matoa Cinnongtabi, Matoa Majauleng, Matoa Sabbangparu, dan Matoa Takkalalla pindah ke Boli. Kepergian mereka diikuti oleh rakyat Cinnongtabi. Sementara La Tenribali menuju ke Penrang yang kemudian disusul oleh saudaranya La Tenritippe. Orang terakhir yang meninggalkan Cinnongtabi adalah We Tenrigau, yang memutuskan pindah ke Mampu. Dengan kepergian We Tenrigau runtuhlah kerajaan Cinnongtabi dan berakhir riwayatnya sebagai sebuah negara setelah berdiri, setelah berdiri selama lebih kurang 60 tahun.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun