Mohon tunggu...
Andi P. Rukka
Andi P. Rukka Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang belajar menjadi birokrat

Menulis untuk menebar manfaat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuncup Demokrasi dari Tepi Danau Lampulung (Bagian Keempat)

23 Agustus 2022   04:29 Diperbarui: 23 Agustus 2022   04:40 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada Bagian ketiga yang lalu kita sudah mengulas tentang masa-masa pr Wajo berdasarkan cerita yang beredar di tengah Masyarakat Wajo. Dalam Bagian keempat ini, kita akan lebih spesifik memasuki pembahasan tentang leluhur para The Founding Fathers of Wajo, dengan judul Tentang Cinnongtabi. Selamat menikmati.

Kemunculan Cinnongtabi dalam sejarah Wajo terjadi ketika Boli masih eksis (Zainal Abidin, 1974). Tempat bernama Cinnongtabi yang didatangi oleh La Paukke dan pengikutnya itu pada awalnya adalah sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari Boli. Riwayat munculnya nama Cinnongtabi saat itu dimulai ketika seorang bangsawan Luwu yang bernama Opu Balirante bermaksud istirahat setelah berburu. Jika sebelum-sebelumnya tidak ada apa-apa yang terlihat dari tempat itu, namun pada saat itu ia melihat dengan jelas banyak rumah sudah berdiri di Boli (macinnong pakkitanna = bisa melihat dengan jelas). Namun saat ia diajak oleh pengikutnya untuk mendatangi perkampungan itu, ia menolak karena khawatir ia dan penghuni Boli akan merasa kaget karena sebelumnya mereka belum saling mengenal (tabbangka = kaget).

Pemimpin Boli yang bernama Puange ri Timpengeng datang menemui Opu Balirante dan mendengar kisah tentang pengalaman batin Opu Balirante mengenai tempat tersebut, serta merta Puange ri Timpengeng berkata bahwa alangkah baiknya kalau tempat ini dinamakan Cinnong Tabbangka. Opu Balirante memuji Puange ri Timpengeng karena merasa orang itu memiliki pemikiran yang sama dengannya. Itulah salah satu riwayat yang mengisahkan tentang munculnya nama Cinnongtabi.

Ada kisah berbeda yang dikemukakan oleh Noorduyn (1955) tentang kemunculan nama Cinnongtabi dalam sejarah Wajo. Dijelaskannya bahwa seorang tomanurung dari Buakkajang yang bernama La Matatikka menikah dengan Linge'manasa,  seorang putri dari Sawitto, di Sajoanging. Setelah keduanya menikah, mereka lalu pindah ke sebuah bukit yang kemudian mereka beri nama Cinnongtabi[14]. Apakah kedua Cinnongtabi itu sama? Entahlah. Namun di Cinnongtabi-lah, La Paukke, seorang pangeran dari Kerajaan Cina yang mengembara bersama pengikutnya, berhenti dan membangun perkampungan di sana.

Di tempat itu mereka mencari nafkah dengan bertani, beternak, menyadap tuak dan sebagainya. Karena tanahnya yang subur, Cinnongtabi segera menjelma menjadi pemukiman yang nyaman. Penduduknya makmur dan sejahtera. lalu makin lama makin banyak orang yang datang untuk menjadi penduduk Cinnongtabi. Seiring dengan pesatnya perkembangan daerah itu, La Paukke kemudian didaulat oleh rakyat yang mendiami tempat itu untuk menjadi Raja atau Arung. Sejak itulah berdiri sebuah pemerintahan resmi di Cinnongtabi dengan La Paukke sebagai raja pertamanya.

Setelah memerintah selama lebih kurang 8 tahun lamanya, La Paukke mangkat. Ia digantikan oleh putrinya yang bernama I Panangngareng menjadi Arung Cinnongtabi ke-2. I Panangngareng adalah putri La Paukke dari pernikahannya dengan I Pattola, yang merupakan Arung Sailong Bone. I Panangngareng memerintah di Cinnongtabi, namun penulis tidak menemukan literatur yang menyebutkan durasi pemerintahannya. Setelah ia wafat, I Panangngareng digantikan oleh putrinya dari pernikahannya dengan La Matatikka yang bernama I Tenri Sui. Kisah La Matatikka dalam semua sumber disebut sebagai keturunan tomanurung dan sarat dengan mistisisme.

Arung Cinnongtabi ke-3 ini diperistri oleh La Rajallangi to Patiroi, putra dari Datu Babauae dari kerajaan Bone. Selama masa pemerintahannya, kendali pemerintahan dijalankan oleh suaminya, La Rajallangi. Salah satu kebijakan yang diputuskan oleh La Rajallangi dalam pemerintahan adalah mengangkat seorang pejabat kerajaan yang digelar Matoa Pabbicara untuk membantu Arung Cinnongtabi dalam segala urusan pemerintahan, termasuk di antaranya mengadili perkara yang terjadi di masyarakat.

Pernikahan I Tenri Sui dengan La Rajallangi melahirkan 3 orang anak yang bernama La Patiroi, La Pawawoi dan La Patongai. Setelah I Tenri Sui dan suaminya La Rajalangi meninggal dunia, jabatan Arung Cinnongtabi dilanjutkan oleh putranya yang bernama La Patiroi.

Di masa kepemimpinan Arung ke-4 ini, Cinnongtabi mengalami kemajuan yang pesat. La Patiroi secara konsisten menjalankan pemerintahan dengan baik. Ia dikenal sebagai pribadi yang sopan dalam bertingkah laku, adil dan jujur dalam memutus perkara. Di bawah kepemimpinannya, seluruh rakyat Cinnongtabi merasakan kedamaian dan ketentraman.

Cinnongtabi menjelma menjadi negeri yang makmur. Penghidupan rakyat meningkat dengan pesat. Kesejahteraan menyebar dan meliputi seluruh negeri. Berkat kemakmuran yang terus meningkat, rakyat betah dan juga semakin banyak orang yang datang untuk hidup dan menetap di Cinnongtabi sehingga makin lama Cinnongtabi menjadi negeri yang makin besar.

Setelah menduduki tahta selama lebih kurang empat puluh tahun, La Patiroi wafat. Rakyat Cinnongtabi menobatkan dua orang anak La Patiroi untuk menjadi Arung Cinnongtabi ke-5. Yaitu La Tenribali dan La Tenritippe, yang merupakan putra La Patiroi dengan istrinya We Tenriwawo, yang juga merupakan adik kandung dari La Rajallangi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun