Krisis moral di jalan raya juga berakar dari hilangnya keteladanan. Dalam pandangan klasik, pendidikan bukan hanya guru mengajar, tapi guru menjadi contoh hidup. "Anak tidak mendengar apa yang kau katakan, mereka meniru apa yang kau lakukan." Bagaimana anak mau berhenti di lampu merah kalau orang tuanya setiap hari menembusnya? Bagaimana sabar bisa dipelajari kalau orang dewasa mencontohkan ketidaksabaran?Â
Aristoteles menyebut kebajikan sebagai jalan tengah antara dua ekstrem: keberanian di antara takut dan nekat, kesabaran di antara marah dan pasif. Di jalan raya, kita butuh menemukan kembali keseimbangan itu, antara kecepatan dan keselamatan, antara kebebasan dan tanggung jawab.
Antara Plato dan Lampu Merah: Sebuah Refleksi
Lampu merah sejatinya bukan simbol larangan semata. Ia adalah representasi dari tatanan moral. Bahwa dalam hidup bersama, ada saatnya kita harus menahan diri demi keselamatan yang lebih besar. Plato percaya keteraturan sosial hanya bisa terwujud bila individu menundukkan egonya pada rasio dan kebaikan.
Murid Plato tidak akan menyerobot lampu merah, bukan karena takut polisi, tapi karena sadar bahwa melanggar keteraturan berarti merusak harmoni moral. Namun kini, kita berhenti bukan karena sadar, tapi karena ada kamera tilang elektronik.
Kesadaran berubah menjadi ketakutan pada hukuman. Padahal Plato sudah mengingatkan: pendidikan sejati adalah membentuk jiwa yang mencintai kebaikan, bukan sekadar takut pada konsekuensi.
Mencari Kembali Makna "Dididik"
Kita sering menyalahkan generasi muda yang ugal-ugalan di jalan. Namun pertanyaannya: di mana mereka belajar itu? Siapa yang pertama kali mencontohkan menyerobot antrean, menyalip di tikungan, atau memotong lampu merah? Jawabannya sering menyakitkan, mereka belajar dari kita.
Pendidikan karakter tidak cukup dua jam seminggu di kelas. Ia harus dihidupkan di rumah, di jalan, di kantor, di media sosial, di mana pun manusia berinteraksi. Sebelum menuntut anak muda berhenti di lampu merah, mungkin kita perlu terlebih dahulu berhenti menyalahkan dan mulai menjadi contoh.
Penutup: Saatnya Mengembalikan Pendidikan ke Jalurnya
Bangsa ini tidak kekurangan sarjana, kita kekurangan keteladanan. Tidak kekurangan pengetahuan, tapi kekurangan kebajikan. Kita membangun gedung sekolah megah, tapi sering melupakan ruang batin manusia yang seharusnya diisi nilai moral.