Mohon tunggu...
Andang
Andang Mohon Tunggu... Dosen Universitas Nggusuwaru, Bima

Andang adalah seorangakademisi yang memiliki minat besar dalam pendidikan. Selain mengajar, Andang aktif menulis tentang isu sosial, pendidikan, budaya, dan filsafat, dengan tujuan menciptakan perubahan positif melalui pendidikan berbasis nilai.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Murid Plato Pun Tak Akan Menyerobot Lampu Merah: Refleksi Tentang Degradasi Moral dan Pendidikan Karakter di Jalan Raya

13 Oktober 2025   06:01 Diperbarui: 13 Oktober 2025   06:01 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setiap pagi di kota-kota besar Indonesia, ada drama kecil yang selalu berulang. Klakson bersahutan. Motor saling salip. Pengendara menembus lampu merah dengan percaya diri, seolah rambu hanyalah saran, bukan aturan. 

Yang ironis, banyak di antara mereka adalah pelajar berseragam putih abu-abu. Baru saja keluar dari kelas PPKn, tempat mereka belajar tentang disiplin, tanggung jawab, dan etika sosial. Kita hidup di negara yang menjadikan pendidikan sebagai pilar utama, tapi di jalan raya, moralitas sering tertinggal di rumah.

Pendidikan yang Tak Menyentuh Jiwa

Fenomena ugal-ugalan di jalan raya bukan sekadar soal keterampilan mengemudi. Ia adalah cermin dari degradasi moral dan kegagalan pendidikan karakter. Plato, filsuf Yunani klasik, menulis dalam The Republic bahwa pendidikan sejati adalah "mengubah seluruh jiwa menuju kebenaran dan kebaikan."

Bagi Plato, tujuan pendidikan bukan sekadar mencerdaskan akal, tetapi mendidik jiwa agar tahu dan mencintai yang baik. Maka, jika murid-murid Plato hidup di masa kini, mereka barangkali tak akan menyerobot lampu merah. Mereka tahu bahwa keteraturan sosial adalah bagian dari kebajikan moral. Sayangnya, pendidikan modern sering berhenti pada tataran intelektual. 

Kita sibuk mengejar nilai ujian, ranking, dan ijazah, tapi lupa membentuk hati dan karakter. Kita menghasilkan generasi yang pintar tapi tidak bijak, cepat tapi tidak sabar, tahu aturan tapi tak menghormatinya.

Jalan Raya: Cermin Ruang Kelas yang Sebenarnya

Bayangkan jalan raya sebagai perpanjangan ruang kelas. Setiap tindakan di sana adalah ujian karakter. Ketika berhenti di lampu merah, itu latihan pengendalian diri. Ketika memberi jalan bagi pejalan kaki, itu bentuk empati sosial. Sebaliknya, ketika menerobos lalu lintas demi cepat sampai, itu bukan tanda keberanian, tapi kegagalan menahan ego.

Aristoteles, murid Plato, menegaskan bahwa kebajikan terbentuk lewat tindakan berulang yang baik. "Kita menjadi adil karena melakukan tindakan yang adil," katanya. Jika anak-anak tidak dibiasakan disiplin dalam hal kecil, antre, menunggu giliran, menghormati rambu, mereka akan tumbuh menjadi individu yang merasa semua hal bisa diterobos. 

Lebih menyedihkan lagi, pelanggaran justru banyak dilakukan oleh orang berpendidikan tinggi. Ijazah tak mampu menahan tangan dari menarik gas saat lampu merah. Plato benar: pengetahuan tanpa kebajikan hanyalah topeng cerdas bagi kebodohan moral.

Krisis Keteladanan di Era Modern

Krisis moral di jalan raya juga berakar dari hilangnya keteladanan. Dalam pandangan klasik, pendidikan bukan hanya guru mengajar, tapi guru menjadi contoh hidup. "Anak tidak mendengar apa yang kau katakan, mereka meniru apa yang kau lakukan." Bagaimana anak mau berhenti di lampu merah kalau orang tuanya setiap hari menembusnya? Bagaimana sabar bisa dipelajari kalau orang dewasa mencontohkan ketidaksabaran? 

Aristoteles menyebut kebajikan sebagai jalan tengah antara dua ekstrem: keberanian di antara takut dan nekat, kesabaran di antara marah dan pasif. Di jalan raya, kita butuh menemukan kembali keseimbangan itu, antara kecepatan dan keselamatan, antara kebebasan dan tanggung jawab.

Antara Plato dan Lampu Merah: Sebuah Refleksi

Lampu merah sejatinya bukan simbol larangan semata. Ia adalah representasi dari tatanan moral. Bahwa dalam hidup bersama, ada saatnya kita harus menahan diri demi keselamatan yang lebih besar. Plato percaya keteraturan sosial hanya bisa terwujud bila individu menundukkan egonya pada rasio dan kebaikan.

Murid Plato tidak akan menyerobot lampu merah, bukan karena takut polisi, tapi karena sadar bahwa melanggar keteraturan berarti merusak harmoni moral. Namun kini, kita berhenti bukan karena sadar, tapi karena ada kamera tilang elektronik.

Kesadaran berubah menjadi ketakutan pada hukuman. Padahal Plato sudah mengingatkan: pendidikan sejati adalah membentuk jiwa yang mencintai kebaikan, bukan sekadar takut pada konsekuensi.

Mencari Kembali Makna "Dididik"

Kita sering menyalahkan generasi muda yang ugal-ugalan di jalan. Namun pertanyaannya: di mana mereka belajar itu? Siapa yang pertama kali mencontohkan menyerobot antrean, menyalip di tikungan, atau memotong lampu merah? Jawabannya sering menyakitkan, mereka belajar dari kita.

Pendidikan karakter tidak cukup dua jam seminggu di kelas. Ia harus dihidupkan di rumah, di jalan, di kantor, di media sosial, di mana pun manusia berinteraksi. Sebelum menuntut anak muda berhenti di lampu merah, mungkin kita perlu terlebih dahulu berhenti menyalahkan dan mulai menjadi contoh.

Penutup: Saatnya Mengembalikan Pendidikan ke Jalurnya

Bangsa ini tidak kekurangan sarjana, kita kekurangan keteladanan. Tidak kekurangan pengetahuan, tapi kekurangan kebajikan. Kita membangun gedung sekolah megah, tapi sering melupakan ruang batin manusia yang seharusnya diisi nilai moral.

Plato berkata: Pendidikan adalah menyalakan api, bukan mengisi bejana. Tugas pendidikan bukan menjejali siswa dengan fakta, melainkan menyalakan kesadaran moral dalam dirinya. Jika api itu padam, maka jangan heran jika di jalan raya kita melihat generasi yang kehilangan arah, ngebut tanpa tujuan, hidup tanpa refleksi.

Maka, marilah kita mulai dari hal kecil: berhenti ketika lampu merah menyala, memberi jalan pada pejalan kaki, tidak menyalip seenaknya. Itu bukan sekadar tindakan teknis, tetapi bentuk penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.

Jika semua orang melakukannya, barangkali jalanan Indonesia tak lagi menjadi arena ugal-ugalan, melainkan ruang pendidikan moral yang sesungguhnya. Dan siapa tahu, di antara pengendara yang berhenti itu, ada "murid Plato" masa kini, yang tidak hanya paham aturan, tapi benar-benar mencintai kebaikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun