Mohon tunggu...
Andang Masnur
Andang Masnur Mohon Tunggu... Relawan - Komisioner

Komisioner KPUD Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara | Sedang Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Gairah dan Keterlibatan Perempuan dalam Panggung Penyelenggara Pemilu

20 Februari 2020   08:39 Diperbarui: 20 Februari 2020   23:56 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi keterlibatan perempuan. (sumber: KOMPAS/HANDINING)

Isu kesetaraan gender pada panggung demokrasi bukan lagi hal yang baru. Merujuk dari UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yang secara khusus menyebutkan keterwakilan perempuan di lembaga publik. Sehingga, aturan tentang memperhatikan keterwakilan perempuan tidak hanya pada syarat pengajuan calon legislatif, tetapi juga pada lembaga penyelenggara Pemilihan atau Pemilu. 

Jika di runut secara hirarkis pada UU Nomor 7 tahun 2017 aturan ini didahului dari ketentuan yang termuat dalam Pasal 22 ayat (1) yang menyebutkan Presiden dalam membentuk tim seleksi KPU memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. 

Begitu bunyi aturan itu berjenjang sampai pada Pasal 10 ayat (7) yang memuat komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, memperhatian keterwakilan perempuan 30%. Selanjutnya pada Pasal 52 ayat (3) pun juga disebutkan hal yang sama untuk menentukan komposisi penyelenggara pada tingkatan kecamatan atau PPK.

Sisi lain dari efek regulasi tersebut adalah tentang partisipasi masyarakat. Bagaimana pun juga pemilih perempuan di negara ini begitu besar dan potensial.

Sehingga tentu keterlibatan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu dapat menjadi pemantik dan pendongkrak partisipasi masyarakat secara keseluruhan se-Indonesia.

Jika melihat tahapan Pilkada 2020 yang sementara ini sedang berlangsung, baru-baru ini KPU Kabupaten/Kota se Indonesia telah tuntas melangsungkan proses rekruitmen PPK dan sementara membentuk PPS ditingkatan desa dan kelurahan. 

KPU Kabupaten/Kota mempedomani PKPU 3 tahun 2015 sesuai dengan juknis yang dikeluarkan oleh KPU RI tentang pembentukan PPK dan PPS serta KPPS dalam Pilkada 2020. Pasal 21 ayat (2) pun juga menyebutkan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam menentukan komposisi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

Lalu apakah regulasi yang berulang-ulang menyebut agar memperhatikan keterwakilan perempuan ini mampu mengakomodir keterwakilan mereka pada dunia penyelenggara? Atau tepatnya apakah setiap jenjang penyelenggara pemilu atau pemilihan di Indonesia telah memenuhi kuota keterwakilan perempuan 30%? 

Tentu jawabannya tidak. Jika melihat disebagian daerah ada kabupaten atau kota yang komisioner KPU-nya tidak ada keterwakilan perempuannya, begitu juga hasil rekruitmen PPK baru-baru ini. Ada 2 hal yang bisa saja menjadi penyebab "kosong"nya keterwakilan tersebut disuatu jenjang dan disuatu tempat.

Pertama adalah minat atau partisipasi. Faktor sosial budaya di kalangan masyarakat di wilayah tertentu turut mempengaruhi hal ini. Sebagian wilayah, kultur patriarki masih sangat kental. Pemisahan antara pekerjaan laki-laki dan perempuan, pekerjaan domestik dan pekerjaan publik. 

Pemahaman bahwa tidak semua pekerjaan dapat dilakukan juga oleh perempuan menjadi hal utama membendung partisipasi penyelenggara dari kaum hawa. Seperti yang dikatakan Candaraningrum (2014:14) yang menegaskan kecenderungan berfikir perempuan bahwa apabila mempunyai pekerjaan formil akan mengganggu tugas utamanya di rumah.

Disisi lain stigma kurang baik tentang politik di kalangan masyarakat juga menjadi salah satu faktor. Benturan yang bisa saja terjadi karena proses politik yang saling terikat dengan penyelenggaraan tahapan membuat kekhawatiran dan menyebabkan kurangnya animo perempuan terlibat dalam dunia penyeleggara. 

Kekhawatiran akan resiko keamanan dan kenyamanan dalam bekerja, intervensi salah satu kelompok menjadi momok yang tidak bisa ditutupi. Bisa saja upaya sosialisasi tentang rekruitmen baik PPK, PPS dan KPPS telah maksimal dilaksanakan. Tetapi jika minat pendaftar oleh kaum perempuan itu sendiri minim maka tentu tidak akan mampu mengakomodir keterwakilan di setiap daerah.

Kedua, yang menjadi faktor adalah pemenuhan syarat. Boleh jadi dalam satu wilayah minat atau animo perempuan untuk terlibat sebagai penyelenggara sudah ada atau bahkan tinggi. Tetapi kemudian apakah mereka yang mendaftar ini memenuhi syarat untuk menjadi anggota PPK misalnya. 

Kita tahu bersama bawa seleksi yang dilaksanakan bertahap, dari seleksi berkas/administrasi, tes tertulis dan tes wawancara. Sebagai contoh, jika disuatu kecamatan yang mendaftarkan diri sebanyak 17 orang, 3 diantaranya adalah perempuan. Tetapi di seleksi berkas 1 orang perwakilan gugur karena tidak memenuhi syarat admnistrasi. 

Selanjutnya di tes tertulis nilai mereka tidak mencukupi dan tidak masuk ketika diranking menjadi 10 besar. Habis sudah keterwakilan perempuan itu dengan sendirinya pada tahap seleksi.

Belum lagi jika ternyata mereka yang berminat ini sebelumnya merupakan kader salah satu partai politik. Atau bahkan disinyalir menjadi simpatisan aktif bakal calon yang akan berkontestasi, tentu tidak akan diloloskan. 

Padahal jika melihat pendapat para ahli, sebenarnya secara psikologi perempuan lebih teliti dalam bekerja dan lebih mudah diajak bekerjasama dalam kelompok. Tentu faktor-faktor tesebut menjadi bagian penting yang menjadi pertimbangan. Sehingga jangan heran jika dalam suatu wilayah dan suatu jenjang keterwakilan perempuan tidak ada.

Demikianlah maksud UU dan segala macam regulasi yang mengatur tentang pembentukan atau perekrutan penyelenggara ini tidak mempatok dengan narasi "harus" ada keterwakilan perempuan. 

Tetapi dengan kalimat yang sedikit melunak, "memperhatikan" keterwakilan perempuan 30%. Sebab selain pentingnya mengakomodir keterwakilan perempuan, hal lain yang tidak kalah pentingnya juga adalah memperhatikan kualitas penyelenggara dari segi integritas. 

Penguasaan regulasi, netralitas dan loyalitas dalam mengemban tugas sebagi penyelenggara sangat penting. Sebab penyelenggara dilapangan inilah yang menjadi ujung tombak untuk mensukseskan tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak 2020.

Catatan: Penulis adalah Komisioner KPU Kab. Konawe-Sultra yang membidangi Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM

Ilustrasi pribadi
Ilustrasi pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun