Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang akan mengirimkan anak-anak yang dicap "nakal" ke barak militer menuai pro dan kontra. Program ini disebut sebagai upaya untuk mendisiplinkan anak-anak yang dianggap melawan orang tua, merokok, terlibat tawuran, hingga enggan sekolah. Di tengah kekhawatiran publik terhadap meningkatnya kenakalan remaja, kebijakan ini tampak seperti jalan pintas yang populis---namun sesungguhnya berbahaya jika tidak dibarengi pendekatan yang holistik.
Apa Saja Kategori Anak yang Dikirim ke Barak?
Kategori dalam kebijakan ini mencakup anak-anak yang:
Melawan orang tua atau guru
-
Terlibat tawuran
Merokok atau menggunakan narkoba
Putus sekolah atau enggan sekolah
Terlibat geng motor atau kriminalitas ringan
Namun, definisi "nakal" dalam konteks ini masih sangat lentur dan berpotensi menyasar anak-anak dari latar belakang sosial dan ekonomi yang rentan.
Mendidik atau Menghukum? Kritik Terhadap Pendekatan Militeristik
Mengirim anak ke barak militer adalah pendekatan yang mengedepankan disiplin koersif, bukan empati edukatif. Anak-anak bukan tentara yang bisa dibentuk dengan komando dan instruksi. Mereka membutuhkan ruang dialog, pengertian, dan model peran yang membimbing.
Studi UNICEF dan Save the Children menunjukkan bahwa pendekatan militer terhadap anak-anak bermasalah justru memperbesar risiko trauma psikologis dan residivisme perilaku bermasalah. Ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak.
Prinsip Konvensi Hak Anak: Pilar Evaluasi Pendekatan Pembinaan Anak Bermasalah
Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) sejak 1990 melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk memastikan bahwa semua kebijakan yang menyangkut anak-anak dilandasi prinsip-prinsip perlindungan dan pemberdayaan. Hal ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang merupakan revisi dari UU No. 23 Tahun 2002.Â