Membangun Toleransi Beragama Melalui Perspektif Hindu
Keberagaman agama di Indonesia adalah anugerah sekaligus tantangan. Konflik horizontal sering terjadi akibat minimnya pemahaman antarumat beragama. Dalam ajaran Hindu, konsep Tat Twam Asi ("Engkau adalah Aku") mengajarkan bahwa semua makhluk memiliki esensi ketuhanan yang sama. Kesadaran ini mendorong munculnya empati, saling menghargai, dan menyingkirkan diskriminasi.
Selain itu, Vasudhaiva Kutumbakam ("Seluruh dunia adalah satu keluarga") menanamkan semangat persaudaraan universal. Prinsip ini melampaui sekat agama, suku, maupun ras, sehingga mampu membentuk masyarakat yang inklusif dan harmonis.
Implementasi nilai-nilai tersebut dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat Bali. Saat Hari Raya Nyepi, umat agama lain turut menjaga ketenangan lingkungan. Sebaliknya, saat Idul Fitri, masyarakat Hindu membantu kelancaran perayaan umat Muslim. Fenomena ini menjadi wujud nyata dari doa universal "Sarve Bhavantu Sukhinah" (Semoga semua makhluk berbahagia).
Ajaran Rg Veda I.164.46, "Ekam Sad Vipra Bahudha Vadanti" (Yang Ada itu Satu, para bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama), mempertegas bahwa perbedaan agama hanyalah perbedaan jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ahimsa (tanpa kekerasan) juga mendorong terwujudnya dialog antarumat beragama yang damai dan konstruktif.
Dharma Agama dan Dharma Negara: Harmoni Spiritualitas dan Nasionalisme
Salah satu kekuatan utama ajaran Hindu adalah konsep keseimbangan antara Dharma Agama dan Dharma Negara. Dharma Agama mencakup kewajiban spiritual seperti puja, yadnya, dan meditasi, yang bertujuan menyucikan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Kegiatan ini tidak hanya bersifat ritualistik, tetapi menjadi proses transformasi karakter.
Di sisi lain, Dharma Negara menuntut peran aktif sebagai warga negara yang baik: patuh terhadap hukum, membayar pajak, menjaga ketertiban umum, serta ikut membangun bangsa. Seorang Hindu yang memahami Dharma Negara tidak akan menjadi warga negara yang apatis, melainkan agen perubahan sosial yang proaktif.
Contoh konkret dapat ditemukan pada sosok I Gusti Ngurah, seorang ASN yang menolak suap dan tetap menjalankan tugas pelayanan masyarakat dengan integritas tinggi. Begitu pula Made, seorang siswa berprestasi yang aktif dalam kegiatan sosial tanpa melupakan kewajiban spiritualnya.
Prinsip Seva (pelayanan tanpa pamrih) dan Karma Yoga (bekerja tanpa mengharapkan imbalan pribadi) menjadi penggerak utama dalam membentuk masyarakat yang adil dan sejahtera. Semangat melayani sesama inilah yang secara inheren menolak segala bentuk korupsi.
Strategi Implementasi Dharma dalam Konteks Modern