Mohon tunggu...
Ana Farikha
Ana Farikha Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mencoba hal baru bukan hal yang menakutkan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bantuan Sosial di Indonesia: Antara Harapan, Tantangan, dan Efektivitas

21 Agustus 2025   18:00 Diperbarui: 21 Agustus 2025   14:13 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kemiskinan masih menjadi masalah struktural di Indonesia, meskipun angkanya menurun dalam dua dekade terakhir. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 adalah 23,85 juta, turun 0,21 juta dari September 2024 dan 1,37 juta dari Maret 2024. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program bantuan sosial (PKH, Rastra, JKN-PBI) untuk mengentaskan kemiskinan. Apakah sistem ini benar-benar efektif, atau apakah ketergantungan struktural semakin meningkat?

Jenis Bantuan

Kebutuhan khusus dapat terpenuhi dengan bantuan nontunai (in-kind welfare) seperti sembako, tetapi mereka rentan terhadap masalah distribusi dan kualitas produk. Bantuan tunai (cash welfare) seperti PKH memberi penerima fleksibilitas untuk menggunakan dana sesuai kebutuhan, tetapi rawan penyalahgunaan. Kebijakan yang efektif sering kali mengombinasikan keduanya, meskipun pengawasan menjadi tantangan besar.

Program Keluarga Harapan (PKH)

Program Keluarga Harapan (PKH) dimulai pada tahun 2008 dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin dengan memberikan bantuan tunai bersyarat yang mewajibkan mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan. PKH berperan sebagai pusat sinergi program perlindungan dan pemberdayaan sosial, mencakup kesehatan, pendidikan, gizi, dan akses program sosial lainnya. PKH telah mencapai lebih dari 21 ribu desa secara nasional dan diharapkan untuk menghentikan rantai kemiskinan antar generasi melalui peningkatan kesehatan, pendidikan, kapasitas pendapatan anak, jaminan masa depan, perubahan perilaku keluarga, dan peningkatan kesehatan keluarga, pengurangan pekerja anak, percepatan pencapaian MDGs, serta pengurangan beban biaya pendidikan dan kesehatan keluarga miskin.

Di sektor kesehatan, PKH mendorong pemanfaatan layanan seperti pemeriksaan kehamilan, imunisasi, dan pemantauan tumbuh kembang balita. Keterlibatan masyarakat dalam posyandu dan fasilitas kesehatan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu-anak, mengurangi angka kematian bayi, mencegah stunting, dan meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin secara keseluruhan.

Walaupun PKH terbukti memberikan dampak positif, pelaksanaannya masih menghadapi tantangan yang menghambat efektivitas. Pertama, data kemiskinan perlu diperbarui secara teratur dan sistem verifikasi yang lebih baik diperlukan. Ini karena ketepatan sasaran belum ideal, dengan kesalahan inklusi 10--15 persen dan kesalahan eksklusi 20--25 persen. Kedua, ada perbedaan dalam kualitas pendampingan; di beberapa wilayah, rasio pendamping terhadap keluarga terlalu tinggi (1:250--300), jauh dari rasio yang lebih baik (1:100--150). Selain jumlah, kemampuan pendamping dalam memfasilitasi pemberdayaan ekonomi juga perlu ditingkatkan. Ketiga, integrasi PKH dengan program perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi lainnya belum maksimal. Meskipun sudah ada sistem identifikasi terpadu, tumpang tindih dan celah cakupan masih terjadi. Untuk mengatasi hal ini, koordinasi lintas sektor dan antarlevel pemerintahan harus diperkuat.

Program Keluarga Harapan (PKH) terbukti efektif menurunkan kemiskinan dan meningkatkan akses layanan kesehatan serta pendidikan bagi keluarga miskin melalui bantuan tunai bersyarat. Dampaknya terlihat pada meningkatnya kunjungan ibu hamil dan balita ke fasilitas kesehatan, perbaikan gizi anak, naiknya angka partisipasi sekolah, dan turunnya putus sekolah.

Bansos Sebagai Jembatan, Bukan Tujuan

Walau bansos terbukti berkontribusi menekan garis kemiskinan, ada beberapa catatan penting:

1. Tanpa pemberdayaan ekonomi, seperti pelatihan kerja, dukungan usaha, dan akses kredit, bantuan yang terus menerus hanya akan menghasilkan ketergantungan, bukan solusi jangka panjang.

2. Penyaluran tepat waktu dan tepat sasaran merupakan kunci efektivitas. Namun, praktik di lapangan masih sering meleset.

3. Dibutuhkan pengukuran berbasis indikasi kesejahteraan berkelanjutan seperti peningkatan pendapatan keluarga pasca-bansos, perubahan perilaku ekonomi, dan mobilitas sosial.

Bansos berpotensi memicu moral hazard, di mana penerima memilih tetap berada dalam kategori miskin untuk terus mendapatkan bantuan. Untuk mengatasinya, beberapa negara menerapkan ordeal mechanism, yaitu syarat administratif atau partisipasi tertentu seperti pelatihan kerja agar hanya yang benar-benar membutuhkan yang bersedia melewati prosesnya. Namun, di Indonesia, mekanisme ini sering berubah menjadi hambatan administratif, menghalangi masyarakat miskin yang tidak memiliki akses ke informasi.

Bantuan sosial di Indonesia berpotensi besar menekan angka kemiskinan, sebagaimana dibuktikan oleh data yang menunjukkan dampak positif. Namun, efektivitasnya masih terhambat oleh masalah pelaksanaan, akurasi sasaran, dan minimnya strategi jangka panjang. Agar bansos benar-benar menjadi jalan keluar dari kemiskinan, bukan sekadar solusi darurat yang diulang-ulang, diperlukan reformasi menyeluruh mulai dari perencanaan program hingga penilaian dampak. Bansos seharusnya menjadi sarana, bukan tujuan akhir. Jika tidak ada perencanaan kebijakan yang matang, ia berisiko digunakan sebagai alat politik jangka pendek, yang justru akan menghambat kemandirian penerima.Akibatnya, jika pemerintah ingin mengakhiri kemiskinan secara permanen, program mereka harus mencakup program pemberdayaan ekonomi yang berfokus pada bantuan sosial dan kemandirian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun