2. Penyaluran tepat waktu dan tepat sasaran merupakan kunci efektivitas. Namun, praktik di lapangan masih sering meleset.
3. Dibutuhkan pengukuran berbasis indikasi kesejahteraan berkelanjutan seperti peningkatan pendapatan keluarga pasca-bansos, perubahan perilaku ekonomi, dan mobilitas sosial.
Bansos berpotensi memicu moral hazard, di mana penerima memilih tetap berada dalam kategori miskin untuk terus mendapatkan bantuan. Untuk mengatasinya, beberapa negara menerapkan ordeal mechanism, yaitu syarat administratif atau partisipasi tertentu seperti pelatihan kerja agar hanya yang benar-benar membutuhkan yang bersedia melewati prosesnya. Namun, di Indonesia, mekanisme ini sering berubah menjadi hambatan administratif, menghalangi masyarakat miskin yang tidak memiliki akses ke informasi.
Bantuan sosial di Indonesia berpotensi besar menekan angka kemiskinan, sebagaimana dibuktikan oleh data yang menunjukkan dampak positif. Namun, efektivitasnya masih terhambat oleh masalah pelaksanaan, akurasi sasaran, dan minimnya strategi jangka panjang. Agar bansos benar-benar menjadi jalan keluar dari kemiskinan, bukan sekadar solusi darurat yang diulang-ulang, diperlukan reformasi menyeluruh mulai dari perencanaan program hingga penilaian dampak. Bansos seharusnya menjadi sarana, bukan tujuan akhir. Jika tidak ada perencanaan kebijakan yang matang, ia berisiko digunakan sebagai alat politik jangka pendek, yang justru akan menghambat kemandirian penerima.Akibatnya, jika pemerintah ingin mengakhiri kemiskinan secara permanen, program mereka harus mencakup program pemberdayaan ekonomi yang berfokus pada bantuan sosial dan kemandirian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI