Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Money

Ini Kiat Gus Dur Bisa Kurangi ULN. Bagaimana dengan Jokowi?

27 November 2014   17:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:42 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14170579491673461835

Kalaupun privatisasi hendak dilakukan, Rizal lebih memilih cara menjual saham BUMN ke publik lewat mekanisme pasar modal. Dengan cara itu, para pemilik uang di dalam negeri, termasuk lembaga-lembaga keuangan nasional yang memiliki sumber dana berebih, berkesempatan membeli saham BUMN itu secara kompetitif.  Hal itulah yang dilakukan pemerintah Malaysia pada masa kepemimpinan Dr. Mahatthir Mohammad, sehingga kekuatan ekonomi nasional juga menjadi kokoh. Jadi, bukan dengan cara strategic sale, yang cenderung mengubah makna privatisasi menjadi sekadar asingisasi.

Privatisasi dengan pola strategic sale kerap dilakukan tidak transparan, cenderung dengan harga obral sehingga merugikan negara, dan jatuh ke pihak asing. “Saya tidak mau melakukan privatisasi ugal-ugalan seperti itu,” kata Rizal.

Selain itu, yang dilepas ke publik juga bukan BUMN pencetak duit, seperti Telkom dan Indosat, melainkan BUMN yang kinerjanya memble. Nah, dengan masuknya investor baru sebagai pemegang saham di BUMN itu, diharapkan akan memperbaiki manajemen dan kinerjanya.

Penjualan saham BUMN lewat pasar modal adalah cara yang konvensional. Ada langkah inovatif dan terobosan baru yang dilakukan Rizal Ramli untuk menggaet dana tanpa perlu melego selembar pun saham BUMN. Caranya, adalah dengan memisahkan kepemilikan silang dan manajemen silang antara PT Telkom dan Indosat.

Harap maklum, ketika itu Telkom dan Indosat memiliki puluhan anak perusahaan yang dimiliki dan dikelola bersama, antara lain, PT Telkomsel, PT Satelindo, dan PT Lintas Arta.

Dalam rapat tertutup ketika itu dengan Menteri Perhubungan Agum Gumelar, yang dihadiri segenap direksi dan komisaris kedua BUMN itu, Menko Perekonomian Rizal Ramli mencetuskan gagasan penghapusan cross ownership dan cross management.


“Pemerintah menghendaki, kepemilikan silang dan manajemen silang di anak-anak perusahaan PT Telkom dan Indosat diakhiri, sehingga akan tercipta kompetisi yang fair di antara kedua raksasa telekomunikasi Indonesia ini. Dengan demikian, rakyat sebagai konsumen akan lebih diuntungkan. Jadi, bukan terus-terusan mempraktikan kerjasama terselubung yang cenderung merugikan rakyat,” kata Rizal dalam bukunya tersebut, membeberkan alasan yang melatarbelakangi gagasan pemisahan kepemilikan saham kedua BUMN itu.

Menurutnya, kebijakan terobosan itu memiliki berbagai dampak positif sekaligus. Selain menghabisi kompetisi artifisial antara Telkom dan Indosat, kebijakan itu juga dimaksudkan sebagai persiapan kedua raksasa telekomunikasi domestik ini menghadapi tekanan liberalisasi telekomunikasi global yang akan tiba antara 5-10 tahun mendatang.

Yang lebih penting lagi, pemisahan kepemilikan silang itu juga bisa mendatangkan dana segar bagi keuangan negara sebesar Rp 5 triliun. Uang itu berasal dari pajak transaksi dan pajak revaluasi aset kedua BUMN. Bayangkan, mendapatkan dana ekstra Rp 5 Triliun tanpa kehilangan saham. Sungguh sebuah terobosan yang sangat tidak lazim, memang.

Bukan cuma masalah Telkom-Indosat. Pengalaman dan fakta yang lebih dahsyat juga pernah dilakukan oleh Rizal Ramli. Ketika itu ia juga mampu memberikan solusi jitu dalam mengatasi problem rush yang dialami Bank  Internasional Indonesia (BII) tanpa mengeluarkan uang negara satu sen pun.

Dari IMF dan Bank Dunia masuk dua usulan untuk menghentikan rush di BII. Pertama, merekapitalisasi ulang BII yang memerlukan suntikan dana segar Rp 4,2 triliun. Kedua, melikuidasi BII yang akan memakan biaya Rp 5 triliun – itu termasuk biaya untuk mengganti dana pihak ketiga dan biaya pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan BII.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun