Menyusup dari kerumunan, dilihatnya perempuan yang tengah menangis di depan rumah bernuansa biru. Laki -- laki bergelar suami tengah memeluknya, laki -- laki lain bersuara keras.
"Mas tolong, lihat sekitar. Disini Mas hanya akan jadi bahan perbincangan."
"Aku tidak akan pulang dengan tangan kosong kembali!" Ucapan terakhir laki -- laki itu bertemu pandang. Ia yang dilihatnya pun hanya mengalihkan pandangannya. "Kau tidak berhak menyalahkanku, salahkan dia!"
Laki -- laki pergi, kerumunan pun juga ikut memudar. Semakin memudar, menyisahkan dua warna yang sudah menyatu dan satu warna yang masih setia pada dirinya sendiri.
"Lihat? Sudah kukatakan untuk berjuang bukan? Sekarang laki -- laki itu semakin gila."
"Kau tidak bisa menyalahkanku jika laki -- laki itu semakin gila karenamu, kalian memang memiliki kenangan waktu, bukan?"
"Kakak!"
Sang suami meminta istrinya untuk kembali ke rumah, "Kakak ipar, akan lebih untuk kakak ipar memperjuangkan perasaan kakak ipar"
"Perasaan? Perasaan apa yang kau maksudkan? Lagipula, selama aku berjuang akan apapun itu, tidak ada kepastian jika laki -- laki itu akan berhenti mengganggu adikku bukan? Yang benar saja"
Ia melanjutkan, "Tidak, terima kasih. Aku sudah memperingatkan adikku, istrimu, untuk tidak berhubungan dengan laki -- laki itu. Sejak awal, perasaanku padanya hanyalah kasihan, bukan seperti kalian atau adikku dan laki -- laki itu dulu."
"Apa kakak ipar tidak kasihan lagi kepadanya?"