Malang, Juli 2025 -- Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP UB) melanjutkan rangkaian pengabdian kepada masyarakat melalui program "Pengembangan Sumberdaya Manusia Magersaren dan Pesanggem dalam Kegiatan Konservasi dan Pemanfaatan Air di UB Forest" yang dipimpin oleh Dr. Yulia Amirul Fata. Memasuki minggu kedua, fokus kegiatan diarahkan pada pelatihan teknik konservasi mata air dan implementasi teknologi pemanenan air hujan sederhana yang dapat diterapkan langsung oleh warga Dusun Sumberwangi, Desa Donowarih, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang.
Pelatihan dimulai dengan pengenalan teknik konservasi mata air, seperti rehabilitasi vegetasi di sekitar sumber air dan pembersihan area mata air untuk menjaga debit serta kualitasnya. Warga juga dilatih membuat saluran penampungan air hujan menggunakan ember atau drum, pipa PVC, dan saringan, dengan tujuan agar keterampilan ini bisa langsung dimanfaatkan di rumah masing-masing.
Metode pembuatan alat pemanenan air hujan dilakukan melalui beberapa tahap: pemilihan lokasi yang memiliki atau memungkinkan pemasangan talang, pemasangan talang di atap bangunan dengan penyangga kayu, pemasangan pipa di ujung talang untuk mengarahkan aliran air menuju drum penampungan, pemasangan filter air untuk mencegah masuknya kotoran seperti daun atau ranting, serta penutupan rapat drum penampung agar bebas nyamuk dan kotoran.
Untuk membangun satu unit alat ini, dibutuhkan anggaran sebesar Rp405.000, mencakup drum penampung kapasitas 150 liter (Rp200.000), dua talang (Rp120.000), filter air (Rp30.000), pipa PVC inci sepanjang 4 meter (Rp25.000), dua pipa L (Rp10.000), dan lem PVC (Rp20.000).
Selain pemanenan air hujan, kegiatan juga mengenalkan sumur resapan sebagai inovasi teknologi tepat guna (TTG) yang memanfaatkan prinsip infiltrasi dengan sistem penyaringan berlapis menggunakan bahan lokal seperti batu, kerikil, pasir, dan ijuk. Teknologi ini, meskipun belum dipatenkan, telah teruji langsung di Dusun Sumberwangi dan mendapat respon positif dari masyarakat. Lebih dari 20 warga terlibat dalam pelatihan dan pembuatan, dengan hasil menunjukkan bahwa air hujan dapat terserap hampir seluruhnya ke tanah sehingga mengurangi genangan, mencegah banjir, dan menjaga ketersediaan air tanah saat kemarau.
Secara ekonomi, sumur resapan ini terjangkau, dengan biaya sekitar Rp625.000 per unit, namun efektif dalam mengatasi persoalan air di pemukiman. Menurut Dr. Yulia Amirul Fata, kegiatan ini menggabungkan pelatihan dan implementasi langsung sehingga warga tidak hanya memahami konsep konservasi air, tetapi juga mampu membuat dan memelihara sistemnya secara mandiri. "Dengan teknologi sederhana ini, masyarakat bisa memanen air hujan untuk kebutuhan sehari-hari sekaligus berkontribusi pada upaya konservasi," ujarnya.
Program ini mendukung pencapaian SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi Layak) melalui penyediaan akses dan teknik pengelolaan air yang aman, SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur) melalui pengembangan teknologi tepat guna yang murah dan ramah lingkungan, SDG 11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan) dengan solusi tata kelola air di tingkat komunitas, serta SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim) dengan membantu masyarakat beradaptasi terhadap perubahan pola curah hujan. Dengan kombinasi pelatihan dan praktik langsung, minggu kedua ini semakin memperkuat pondasi program konservasi air berbasis komunitas yang dikelola bersama antara perguruan tinggi, mahasiswa, dan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI