Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Suatu Sore Bersama Gusdurian

Diperbarui: 4 Maret 2025   12:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dokpri)


Keberagaman menjadi satu hal yang cukup lekat dengan Indonesia. Maklum, Indonesia dihuni masyarakat majemuk, dengan beragam suku, bahasa, dan agama di dalamnya.

Maka, tidak mengherankan jika keberagaman selalu ada dalam keseharian masyarakat Indonesia. Pada titik tertentu, perbedaan yang ada dalam keberagaman justru bisa menghasilkan beragam ide kolaborasi lintas batas, yang secara aplikatif dapat berguna bagi masyarakat.

Inilah yang saya jumpai, dalam momen diskusi bersama komunitas Gusdurian, Jumat (28/2) lalu. Komunitas Gusdurian sendiri merupakan satu komunitas yang berkomitmen menjaga kebhinekaan di Indonesia, dengan menjadikan keberagaman sebagai satu kekuatan unik yang menyatukan berbagai perbedaan.

Hanya saja, diskusi yang turut menghadirkan perwakilan lintas agama, antara lain dari Gereja Kristen dan Katolik ini bukan sebatas membicarakan tentang sikap toleransi dalam sikap, karena sudah membahas satu masalah bersama (di masyarakat) yang bisa dihadapi bersama lewat kolaborasi. Bisa dibilang, ini adalah bentuk "next level" dari toleransi.

Bertempat di Pendopo Griya Gusdurian, Yogyakarta, momen diskusi lintas agama ini menghadirkan satu sore yang santai, walau sedang membahas topik serius. Disebut serius, karena diskusi bertajuk "Refleksi, Nyadran, dan Puasa Sampah" ini mengangkat isu seputar pengelolaan sampah di Yogyakarta. Sebenarnya, isu ini sudah cukup lama jadi perhatian di masyarakat, khususnya di Yogyakarta, karena belum dikelola optimal.

Di masyarakat sendiri, pengelolaan sampah masih belum optimal, karena masih berproses dalam membangun kebiasaan memilah sampah. Dalam artian, sampah dikelompokkan menurut jenisnya (misal: basah-kering atau plastik-organik) supaya bisa langsung diolah, entah menjadi pupuk atau didaur ulang.

Terlepas dari berbagai kekurangan yang masih ada, jika pendekatan positif ini dapat dibiasakan secara konsisten, akan terbentuk satu budaya positif. Dari diskusi ini juga, terdapat temuan yang menunjukkan, kaum wanita, khususnya ibu rumah tangga (secara umum) memegang peranan penting dalam proses pengolahan sampah domestik di Yogyakarta.

Selain karena rutin berurusan dengan sampah rumah tangga dalam keseharian, para ibu dapat berperan mengedukasi keluarga dalam memilah sampah. Dari sini, dapat terbentuk kebiasaan memilah sampah. Proses pembentukan perilaku positif ini akan optimal dari segi dampak, jika para ibu didukung penuh oleh semua anggota keluarga di rumah.

Jika kebiasaan memilah sampah sudah terbentuk, kesadaran untuk bertindak (secara personal) dalam level berikutnya bisa mulai ditanamkan. Dalam diskusi bersama komunitas Gusdurian, terdapat ajakan untuk mulai ber-"puasa sampah", sebagai satu langkah nyata.

Langkah "puasa sampah" ini antara lain bisa mulai dilakukan, dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Di era kekinian, kebiasaan ini antara lain menghadirkan tren penggunaan wadah kain (yang bisa dipakai ulang) sebagai pengganti wadah plastik sekali pakai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline