Kita sering gak sadar, hidup kita sehari-hari sudah 'dikelilingi cinta palsu' dari plastik.
Saya pernah merasa hidup tanpa plastik itu mustahil. Tiap belanja di warung, pasti dikasih kantong kresek. Beli kopi dingin? Cup plastik. Pesan makanan online? Bungkusnya sampai dua lapis plastik. Rasanya praktis, bersih, dan efisien. Tapi lama-lama saya sadar - semua kemudahan itu punya harga yang mahal, bukan buat saya pribadi, tapi buat bumi tempat kita hidup.
Dan jujur saja, plastik ini seperti mantan yang gak bisa move on. Udah dibuang jauh-jauh, tapi tetap muncul lagi - di laut, di sungai, di tanah, bahkan di tubuh kita.
Plastik, Sahabat yang Menjadi Musuh
Saya tumbuh di masa di mana plastik dianggap penyelamat. Semua orang menggunakannya tanpa rasa bersalah. Sampai suatu kali, saya ikut bersih-bersih pantai di Flores.
Kami gali pasir, dan di bawahnya, bukan cuma cangkang kerang yang kami temukan, tapi juga potongan plastik, sedotan, dan bungkus mie instan yang warnanya masih jelas - padahal mungkin sudah puluhan tahun di sana.
Waktu itu saya baru benar-benar paham: plastik tidak benar-benar pergi. Ia hanya berpindah tempat, dari tangan kita ke bumi, lalu ke laut, dan akhirnya mungkin kembali ke tubuh kita dalam bentuk mikroplastik.
Kenapa Plastik Sulit Hilang dari Hidup Kita
Kita terbiasa dengan kemudahan. Hidup serba cepat membuat kita ingin semua praktis. Plastik menawarkan itu. Tapi yang jarang kita sadari, tidak semua plastik bisa didaur ulang.
Botol air mineral mungkin bisa masuk ke pabrik daur ulang. Tapi bungkus mie instan, sachet kopi, atau bungkus makanan ringan? Hampir tidak mungkin. Bahan campurannya terlalu kompleks. Akhirnya, limbah seperti itu hanya menumpuk di TPA, dibakar, atau hanyut ke sungai dan laut.