".............di situlah inti dari sebuah Ujian Tengah Semester yang sebenarnya, ujian yang mengajarkan kita untuk hidup, bukan hanya untuk lulus,"Â
SUDAH tiga hari masa Ujian Tengah Semester (UTS) berjalan. Biasanya, UTS identik dengan suasana tegang: duduk di ruangan, membuka lembar soal, dan menatap layar atau kertas ujian. Namun kali ini, semuanya terasa berbeda. Tidak ada ruang kelas, tidak ada pengawas, bahkan hampir tak ada ujian tulis seperti biasanya.
Hanya satu mata kuliah, Sistem Digital, yang masih mempertahankan bentuk ujian tulis. Itupun bukan ujian tatap muka, melainkan online. Kami diberi kebebasan penuh untuk mengerjakannya di mana saja dan kapan saja. Jumlah soalnya hanya dua puluh, tetapi yang mengejutkan, tenggat waktu pengumpulannya adalah dua minggu.Â
Dua minggu! Bukankah biasanya soal semacam itu bisa diselesaikan dalam satu atau dua jam? Jadinya, ujian itu lebih terasa seperti tugas daripada ujian tengah semester.
Karena tidak ada pengawasan, tentu saja sebagian besar dari kami membuka Google untuk mencari jawaban. Godaan itu terlalu besar untuk diabaikan. Dalam suasana tanpa tekanan, ujian ini terasa seperti latihan mandiri yang santai, bukan ujian yang menentukan nilai tengah semester.
Lambat laun, aku mulai bertanya-tanya: apakah memang begini bentuk kuliah masa kini? Materi yang diberikan dosen tidak terlalu banyak, tapi penilaiannya justru beragam - dari proyek, laporan, hingga presentasi. Sekali-sekalinya ada ujian tulis, malah dibuat sebebas itu.
Bila dipikir dari sudut pandang mahasiswa, ujian seharusnya menjadi alat ukur untuk melihat sejauh mana pemahaman kita terhadap materi kuliah. Tapi kalau semua boleh mencari di internet, di mana letak batas antara belajar dan menyalin?
Namun di sisi lain, mungkin dosen punya pertimbangan sendiri. Bisa jadi, mereka ingin menilai bukan sekadar hafalan, melainkan cara berpikir dan kemampuan kami menyusun jawaban dari berbagai sumber.
Belakangan aku baru menyadari bahwa perubahan cara dosen memberikan ujian bukan semata-mata soal kemudahan, melainkan cerminan dari perubahan cara berpikir dalam dunia pendidikan. Sistem buku terbuka bukan berarti ujian menjadi lebih ringan yang hanya menuntut kita berpikir lebih dalam.
Jika dulu kita berlomba menghafal rumus dan definisi, kini kita diajak untuk menemukan makna dari pengetahuan itu sendiri. Soal-soal yang diberikan dosen tidak lagi sekedar meminta jawaban yang benar atau salah, tetapi menuntut kemampuan untuk menganalisis, menghubungkan, dan menafsirkan.