Pernahkah kalian bertemu seseorang yang selalu tersenyum dan bilang, "Gapapa kok, aman aja", bahkan ketika matanya tampak menyimpan sesuatu yang tak terucap? Atau mungkin, kita sendiri yang sering mengucapkan kalimat sederhana itu dan terdengar tegar, padahal di dalam dada ada sesuatu yang sedang bergetar.
Anehnya, kalimat itu selalu terucap dibarengi tersenyum lebar, suaranya tenang, bahkan kadang disertai tawa kecil seolah hidupnya baik-baik saja. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di balik matanya yang membuat kita ingin bertanya lagi, "Yakin, benar-benar aman?"
Kita hidup di zaman ketika kata "gapapa" sudah menjadi tameng seribu rasa, kalimat sederhana dimana kita sering mengeluarkannya dari bibir yang sedang menahan lelah, dari hati yang diam-diam sesak, dari kepala yang sedang penuh tapi memilih untuk tetap tersenyum. Kita terbiasa menenangkan orang lain dengan kata itu, tapi jarang menenangkan diri sendiri yang sebenarnya sedang butuh dipeluk.
Ironisnya, semakin sering diantara kita berkata "gapapa aman", semakin besar kemungkinan kita sedang tidak benar-benar baik-baik saja. Kalimat itu seakan-akan menjadi perlindungan terakhir dari kita, untuk meyakinkan orang lain. Kalimat itu menjadi pelindung dari rasa khawatir, dari penilaian orang, bahkan dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak siap kita jawab.
Namun, seiring waktu, topeng "aman" itu bisa menjadi beban. Kalimat itu membuat kita terbiasa menekan perasaan, menunda tangis, dan memaksa diri untuk kuat, bahkan ketika hati sudah lama minta istirahat. Maka tak jarang, hal ini justru memicu munculnya guncangan-guncangan pada kesehatan mental kita sendiri.
Dibalik setiap kalimat "Gapapa Kok, Aman Aja" yang diucapkan, bisa jadi ada hati yang sedang berjuang keras menahan tangisnya di malam hari. Ada hati yang diam-diam berdoa agar esok lebih ringan, atau kepala yang berisik oleh pikiran-pikiran yang berputar-putar tanpa henti. Tapi kalimat tameng itu selalu muncul karena kita seringkali takut dianggap lemah, apalagi khawatir membebani orang lain.
Kita tumbuh dalam budaya yang terkadang terlalu melebih-lebihkan kata "kuat". Seolah menangis adalah tanda gagal, curhat berarti merepotkan, dan mengaku lelah dianggap manja.
Padahal, justru dengan mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja, kita sedang memulai langkah pertama menuju pemulihan. Keberanian itu bukan tentang menahan semua beban dalam diam, tapi tentang berani berkata, "Aku butuh istirahat dan aku butuh ditemani".
Bagi sebagian orang, kalimat "Gapapa" menjadi cara untuk bertahan. Kalimat itu pada akhirnya menjadi sebuah samaran sopan santun agar dunia tidak tahu betapa lelahnya kita hari ini.
Kita bahkan sampai memilih diam karena tahu tidak semua orang siap mendengar keluh kesah, dan tidak semua telinga bisa memahami luka kita yang tak terlihat.