Berdiri Menyambut Siswa itu Investasi Emosional, Branding Sekolah, atau Sekadar Gaya-Gayaan?
Di banyak sekolah, pemandangan guru berdiri menyambut siswa di depan pintu gerbang atau depan kelas menjadi rutinitas harian. Ada yang melakukannya karena memang sudah masuk SOP, ada pula yang sekadar menjalankan perintah tanpa tanya.
Tak sedikit pula yang dengan tulus berdiri, menyapa satu per satu siswa dengan senyum dan sapaan hangat.
Namun, di tengah tren yang mulai menjadikan aktivitas ini sebagai branding sekolah atau konten media sosial, muncul pertanyaan yang lebih kritis:
Apakah berdiri menyambut siswa masih murni sebagai bentuk cinta dan perhatian, atau telah bergeser menjadi ritual gaya-gayaan demi eksistensi? Apakah ini lahir dari kesadaran mendalam sebagai bagian dari standing for learning atau hanya FOMO (fear of missing out)?, sekadar ikut-ikutan demi terlihat keren dan kekinian?
Jika kita lihat lebih dalam, niat dan ruh dari tindakan ini sangat penting.
Ketika guru berdiri dengan hati, menyambut siswa dengan kesadaran bahwa ia sedang membangun relasi manusiawi yang bermakna, maka itulah investasi emosional.
Tapi ketika guru berdiri karena ada absensi khusus, pengawasan kepala sekolah, atau karena semua sekolah lain sudah begitu, maka bisa jadi itu hanya ritus kosong formalitas tanpa ruh, branding tanpa makna.
Saya percaya, berdiri menyambut siswa bukan hanya kebiasaan baik, melainkan tindakan sadar yang bernilai revolusioner.
Sikap itu adalah bagian dari perlawanan halus terhadap model pendidikan yang kaku, birokratis, dan berjarak.
Inilah yang saya sebut sebagai bentuk Standing for Learning, yaitu berdiri bukan sekadar postur fisik, melainkan sikap batin guru yang hadir sepenuhnya untuk murid-muridnya.
Di tengah sistem pendidikan yang kadang mendorong guru menjadi sekadar operator kurikulum dan penginput nilai, berdiri menyambut siswa adalah "pembangkangan" kecil nan bermakna.