Ada kalanya cinta sejati tidak perlu dicari jauh jauh
ia tumbuh diam diam, sederhana, tapi kokoh seperti akar pohon tua.
Ia tidak datang dengan kemewahan,
melainkan dengan ketulusan yang teruji oleh waktu.
Enam puluh dua tahun yang lalu, aku hanyalah seorang pemuda yang hanya bermodalkan sepeda onthel.
Yang menulis puisi dengan hati berdebar,
menyebut nama Helena , seorang gadis yang membuat dunia terasa lebih indah.
Siapa sangka, puisi sederhana itu menjadi awal
dari sebuah kisah panjang tentang cinta, kesetiaan,
dan perjalanan dua hati yang tak pernah menyerah menghadapi badai kehidupan.
Puisi Lama Itu...
Lihatlah masa
Nan bergelombang,
Berliku arah, menantang arus.
Namun langkah kita tak pernah surut,
Sebab cinta telah menjadi layar
Yang menuntun perahu hidup ini
Menuju cita kita bersama.
Janganlah sedih,
Wahai kasih,
Jangan biarkan duka menitik di matamu.
Mari tersenyum,
Mari menari di bawah hujan,
Sebab badai pun akan reda
Bila hati tetap satu tujuan
Untuk nuju cita
Kita bersama.
Puisi ini ku tulis enam puluh dua tahun yang lalu,
di saat masih muda,
dan dunia seolah hanya milik dua insan yang sedang jatuh cinta.
Kala itu aku tak tahu,
bahwa gadis yang kusebut dalam bait-bait sederhana ini
akan menjadi teman hidupku selamanya.
Sejak 2 Januari 1965,
"mantan pacar" itu telah menjadi istriku tercinta
pendamping setia dalam suka dan duka,
penopang kala aku rapuh,
dan cahaya lembut yang menuntunku melewati gelapnya perjalanan hidup.
Kami pernah berdiri di tepi jurang kesulitan,
menahan lapar, menahan air mata,
namun tak pernah melepaskan genggaman tangan satu sama lain.
Sebab kami percaya,
bahwa cinta bukanlah kata yang mudah diucap,
melainkan kesetiaan yang diuji oleh waktu,
oleh air mata,
dan oleh keberanian untuk tetap saling percaya.
Kini, enam puluh tahun lebih telah berlalu.
Rambut kami telah mulai memutih,
langkah kami tak lagi secepat dulu,
namun setiap guratan di wajah ini
adalah peta perjalanan cinta yang panjang
jejak pengorbanan, kesetiaan,
dan doa yang tak pernah putus diucapkan bersama.
Kami hidup berbahagia,
dikelilingi oleh anak.anak, menantu, cucu, cucu mantu, dan cicit-cicit kami
yang menjadi mahkota di usia senja.
Mereka adalah buah dari cinta yang dulu hanya berawal dari sebaris puisi
dan seutas keyakinan:
bahwa cinta sejati tak akan lekang dimakan masa.
Dan kini, ketika aku membaca kembali puisi lama itu,
hatiku bergetar lembut.
Ada haru, ada syukur,
ada doa yang mengalun pelan dalam batin: