Rumah sakit. Tempat yang sedapat mungkin dihindari oleh kebanyakan orang, karena memang bukan tempat yang menyenangkan.
Semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Bagi yang mengidap penyakit, penantian menghadap dokter seakan tiada berakhir. Untuk yang menemani anggota keluarga yang berobat, rasa bosan mendera.
Saya terpaksa harus mengorbankan jam mengajar di siang, sore, dan malam hari demi menemani kakak laki-laki saya, sebut saja Joni, ke dokter spesialis urologi yang berpraktik di salah satu rumah sakit di Samarinda beberapa minggu yang lalu
Joni harus rutin memeriksa prostatnya karena faktor usia yang menurunkan fungsi organ tubuhnya tersebut.
Kisah penantian di rumah sakit
Perjalanan panjang penuh drama dari rumah ke rumah sakit, memperoleh nomor antrean sampai tahap akhir sangatlah 'klasik' dan umum di negeri +62. Sudah jamak.
Joni mendapat nomor antrean tujuh di aplikasi Mobile JKN. Estimasi dilayani adalah sekitar pukul 16.30 Waktu Indonesia Tengah (WITA).
Registrasi ulang harus dilakukan. Coba tebak berapa lama kami harus menunggu? Lima menit? Sepuluh menit? Lima belas menit? Salah semua! Kami harus menunggu selama 60 menit, baru Joni dipanggil untuk registrasi!
Saya bingung. Apakah akses internet lelet? Ataukah sangat banyak calon pasien yang mendaftar? Sepertinya alasan kedua yang tepat, karena terlihat secara kasatmata akan ramainya para calon pasien di rumah sakit saat itu.
Selesai registrasi, kami menuju ruang praktik dokter. Pukul 16.30 WITA. Nomor antrean tujuh tetap tidak berubah dan berharap Joni dilayani oleh sang dokter di waktu yang sama sesuai aplikasi. Kenyataan? Harapan tetap tinggal harapan.
Satu jam berlalu. Sudah jam 17.30 WITA dan belum ada tanda-tanda pemanggilan.
"Kau mau minum, Jon? Aku belikan di warung di luar ya," Saya tahu kalau Joni tidak membawa botol minum. Kalau saya sih pasti membawa, karena saya sudah tahu pasti bakal lama 'menanti' di rumah sakit.