Saat ini kita masih terjajah oleh krisis ekologis meskipun bangsa ini telah merdeka dari penjajahan fisik oleh bangsa asing. Di balik suara lantang kita memekikkan kata "Merdeka" pada setiap tanggal 17 Agustus, kita tidak sadar dengan kenyataan pahit yang sangat dekat dengan kita: sampah. Mengapa dengan sampah? Karena sampah --terutama sampah plastik-- kini telah menjelma menjadi simbol penjajahan baru yang merampas hak generasi masa depan untuk hidup di lingkungan yang sehat.
Ironi ini semakin mencolok ketika data menunjukkan bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia. Menurut laporan World Bank 2021, negara kita menghasilkan sekitar 6,8 juta ton sampah plastik setiap tahun, dengan 620 ribu ton di antaranya mencemari laut. Ini bukan sekadar persoalan teknis pengelolaan sampah, tapi cermin dari budaya konsumsi dan kebijakan negara yang lemah dalam melindungi bumi.
Dulu, para pejuang melawan kolonialisme demi kedaulatan politik dan ekonomi. Kini, tantangan kita adalah melawan kolonialisme ekologis--sebuah bentuk penjajahan yang tidak kasat mata tetapi sama mematikannya. Bedanya, penjajah kali ini tidak membawa senapan, melainkan membawa budaya instan, produk sekali pakai, dan kebijakan yang membiarkan sampah impor masuk ke negeri kita.
Baca juga:
Merdeka dari Sampah: Ketika Sampah Menjadi Simbol Penjajahan Baru
Kemerdekaan sejati seharusnya berarti kita berdaulat atas tanah, air, dan udara kita. Namun faktanya, laut kita dijejali sampah impor dari negara maju, dan TPA kita menjadi ladang racun yang pelan-pelan membunuh ekosistem serta kesehatan masyarakat. Dalam konteks ini, peringatan kemerdekaan bukan hanya momentum nostalgia sejarah, tapi seharusnya menjadi alarm untuk mempertanyakan: sudahkah kita benar-benar merdeka?
Dan jawaban itu, jika kita jujur, adalah belum. Kemerdekaan ekologis belum kita miliki. Kita masih membiarkan bumi yang diwariskan para pendahulu dirampas oleh timbunan sampah dan polusi yang kita hasilkan sendiri, ditambah limbah dari negara lain yang kita terima dengan tangan terbuka.
Kolonialisme Ekologis: Dari VOC ke Plastik Impor
Ilustrasi sampah plastik mencemari Sungai Citarum, Jawa Barat (Sumber: Dana Mitra Lingkungan, dml.or.id)
Sejarah mencatat bagaimana VOC datang dengan dalih perdagangan, lalu menguasai rempah-rempah dan tanah kita selama ratusan tahun. Hari ini, skenario itu berulang, hanya kemasannya yang berbeda. Bukan lagi lada, pala, atau cengkeh yang diperebutkan, melainkan ruang hidup kita yang dijadikan tempat pembuangan. Sampah impor--baik secara legal maupun ilegal---membanjiri pelabuhan kita, mencemari sungai, dan menggunung di TPA.