Terjadi berbagai pergeseran seismik dalam lanskap psikologis dan ketenagakerjaan Indonesia. Namun, tak ada yang lebih meresahkan daripada narasi yang kini melingkupi generasi muda kita.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 melukiskan gambaran suram: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk kelompok usia 15-24 tahun mencapai 16,16%. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah lonceng darurat. Tingkat pengangguran kaum muda ini lebih dari tiga kali lipat rata-rata nasional sebesar 4,76%.
Di tengah krisis ini, muncul sebuah kekeliruan logika---generalisasi yang tergesa-gesa---yang melabeli Generasi Z sebagai "kutu loncat" (job hopper) yang tidak loyal dan manja. Narasi ini, selain keliru, berfungsi sebagai kambing hitam yang nyaman untuk menutupi kegagalan struktural yang lebih dalam.
Realitasnya jauh lebih tragis. Alih-alih melompat, sebagian besar dari mereka justru terperangkap dalam fenomena job hugging: memeluk erat pekerjaan yang tidak memuaskan, buntu, bahkan toksik, demi bertahan hidup. Paradoks inilah---persepsi sebagai pelompat versus realitas sebagai pemeluk---yang mengungkap krisis psikologis dan struktural yang mencengkeram masa depan bangsa.Â
Mitos Kutu Loncat, Realitas Kelas Prekariat
Kondisi kerja kaum muda saat ini tidak dapat dipahami tanpa menelusuri akarnya pada pergeseran kebijakan ekonomi neoliberal yang mengutamakan fleksibilitas pasar di atas keamanan pekerja. Kebijakan deregulasi ini, yang dipercepat oleh legislasi seperti UU Cipta Kerja, secara sistematis membongkar jaring pengaman ketenagakerjaan.
Serikat buruh mengkritik keras UU ini karena melonggarkan aturan mengenai durasi kontrak, penggunaan tenaga alih daya (outsourcing), dan formula upah minimum, yang secara efektif menormalkan kondisi kerja yang tidak pasti.Â
Kondisi ini melahirkan apa yang oleh ekonom Guy Standing disebut sebagai "Prekariat"---sebuah kelas sosial baru yang hidup dalam kerentanan permanen. Berbeda dari proletariat era industri dengan pekerjaan stabil, prekariat dicirikan oleh ketiadaan keamanan kerja, identitas profesi yang rapuh, dan tergerusnya hak-hak perburuhan seperti pensiun dan jaminan kesehatan.
Di Indonesia, kelas ini bukan lagi teori, melainkan kenyataan pahit. Dominasi sektor informal yang menyerap 59,40% tenaga kerja , maraknya status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) , dan ledakan ekonomi gig menciptakan angkatan kerja yang terus-menerus berada di tepi jurang. Studi mengenai pekerja prekariat di Indonesia mengonfirmasi realitas ini: upah yang rentan dipotong, ketidakpastian kerja, dan eksklusi dari jaring pengaman sosial.
Kerentanan ini diperparah oleh tekanan ekonomi. Kenaikan upah minimum sering kali gagal mengimbangi laju inflasi, menggerus daya beli secara nyata. Terjepit di antara pendapatan yang stagnan dan biaya hidup yang meroket, anak muda terpaksa memprioritaskan gaji hari ini di atas karier hari esok.